Profil : Icha Rahmanti
Beauty Of Writing Ala Icha
Bagi para novel mania, tentu gak asing lagi dengan novel
yang judulnya Cintapuccino. Buah pena dari penulis chicklit Indonesia yaitu
Icha Rahmanti ini sukses memulai debut awalnya. Kedatangannya ke Kota
Khatulistiwa guna mempromosikan karya terbarunya “Beauty Case”. Di balik
kesuksesannya, Icha berbagi cerita tentang gimana sih jadi seorang
novelis.
Novel
perdananya dua tahun silam ini langsung jadi Best Seller di Indonesia. Malah sekarang memasuki cetakan ke-15.
Hebatnya lagi, 2006 ini akan dibuat versi layar lebarnya.
Novelis
yang punya nama asli Nisha
Rahmanti ini adalah salah satu penulis yang memilih
genre perempuan atau biasa lebih dikenal dengan sebutan ChickLit (Chick Literature)
yaitu bacaan cewek.
Di dalam
chicklit akan ditemukan kehidupan jujur para kaum hawa, karena di sinilah
segala tentang cewek diungkap habis. Kebanyakan tema yang diusung adalah
tentang perempuan mandiri yang memiliki karir serta hidup lajang namun harus
bergelut dengan ragamnya masalah kehidupan modern.
Dulunya
ini merupakan trend tulisan yang digemari di negara Eropa sana, UK. Sebut saja
salah satu pionirnya yaitu Helen Fielding dengan Bridget Jones: The Edge of
Reason yang jadi best seller skala
internasional.
Kenapa cewek cantik ini lebih memilih tema
semacam itu? Dengan santainya ia menjawab tema tersebut lebih dekat dengan
keseharian. “Gak seperti dunianya Scientist yang bisa sampai ke bulan,
pengalaman yang hanya bisa dialami satu atau dua orang aja,” jawabnya dengan
santai. ChickLit dengan settingan kehidupan sehari-hari. Layaknya kita memiliki
kantor, tempat kost, yang pasti dunia yang begitu dekat dengan kita.
Sukses
debut pertamanya, maka tahun 2005 lalu ia menelorkan karya terbarunya “Beauty
Case”. Dengan gaya bahasa yang santai dan ngepop serta dibumbui humor tak heran
novel ini memiliki angka penjualan yang lumayan. Memang seperti itulah konsep
chicklit. Santai namun cerdas.
Beauty Case sendiri memotret realita perempuan
metropolitan yang segala sesuatunya dilihat dari penampilan luar. Tokoh Beauty
Case adalah cermin perempuan kebanyakan yang memiliki bakat namun terbentur
oleh tembok yang namanya ketidakpercayaan diri.
Perjalanan
novel Beauty Case yang ditulisnya hampir memakan waktu sepuluh bulan, bercerita
tentang seorang gadis yang bernama Nadja. Potret yang diimajinasikan Icha
adalah gambaran seorang gadis metropolis 80% gadis pada umumnya. Perempuan yang
di satu sisi memiliki potensi atau bakat tapi sisi lainnya dihalangi oleh ketidakpercayaan
pada dirinya sendiri atau terbentur pada fisickly
Does beauty still rule? Pertanyaan yang mengawali
ditulisnya buku ini. Namun menurut Icha sendiri jawaban yang paling tepat untuk
pertanyaan ini adalah cantik atau fisik memang bukanlah segalanya. “Cantik
memang bukan segalanya, tapi perlu dan masih berlaku di zaman sekarang.” Itulah
sebersit pesan yang ingin disampaikannya dari novel yang menghabiskan durasi
sepuluh bulan pengerjaannya.
Jika
chicklit dianggap literature wajib bagi cewek, so gimana dengan kaum Adam?
Sambil tersenyum novelis yang juga penyiar OZ Bandung ini menjawab cowok juga
perlu baca novel. Lalu apakah novel ini hanya menjadi bacaan wajib kaum hawa,
selanjutnya bagaimana dengan kalangan pria? “Ya nggak lah, bahkan banyak juga
komentar dari pembaca yang notabenenya cowok, salah satunya Tommy Cokro, News
Anchor-nya Metro TV yang sempat menuliskan kesannya setelah membaca bilang
kalau novel Icha ini membantu dia lebih mengenal cewek metropolis.”
Memang tak
salah penulis yang masih single ini mampu menghasilkan karya-karya indah
seperti halnya Beauty Case, dia mengaku sejak berusia 6-7 tahun telah menekuni
hobinya ini. Ia ingat ketika masih kecil kesulitan menemukan bacaan bergambar
seperti komik Jepang yang ramai beredar sekarang. Karena terbiasa dengan bacaan
tanpa gambar, ia mulai berimajinasi dan menuangkannya dalam bentuk tulisan.
Hingga
akhirnya lahirlah novel seperti Cintapuccino dan Beauty Case dengan genre
tentang perempuan serta gaya bahasanya seperti bertutur. “Buku ini harus dekat
dengan pembaca, kita bisa memilih menulis untuk siapa, karena konsepnya adalah
teman jadi membutuhkan bahasa informal atau bertutur”.
Sekalipun
berstatus lulusan Teknik Arsitektur ITB tidak menjadi penghalang bagi seorang
Icha untuk menulis, bahkan dari pengakuannya antara dunia menulis gak jauh beda
seperti belajar arsitektur. “Sama-sama mendesain, yang satu desainnya pakai
bata, yang satu lagi desainnya pakai cerita,” jawabnya.
Ada
beberapa tips darinya lewat konsep penulisan ‘Beauty of Writing’ bagi calon
penulis muda yang ingin mengawali karirnya sebagai penulis. Pertama menurutnya
yang terpenting adalah komitmen. “Menulis butuh proses dan perlu latihan,”
ungkap penyiar Radio OZ Bandung ini mengawali triknya. Kadang penulis sering
kehilangan moodnya, seperti yang
dialaminya saat menyelesaikan Beauty Case. Karena itu perlu strategi mengatasi
misalnya pergi jalan ke mall atau pun yang lainnya. “Yang penting bagaimana
kita berkomitmen menyelesaikan sampai selesai”.
Langkah
kedua adalah mencari tahu untuk siapa tulisan itu dibuat. Diyakini oleh Icha,
ketika penulis tahu siapa yang akan menjadi pembacanya maka memudahkan penulis
berkomunikasi di dalam cerita. Selesai dengan dua hal tadi tentulah paling
bijak untuk menerbitkan yaitu mencari penerbit. “Ngeceng di toko buku sambil
lihat kira-kira penerbit mana yang cocok dengan cerita yang dibuat. Setelah
dapat lalu catat dan kirimkan, tapi gak hanya pada satu penerbit saja”. Tinggal
kembali pada faktor jodoh saja antara buku dan penerbit seperti halnya kedua
novelnya yang berjodoh dengan penerbit dan bisa dijadikan patner kerja.
0 komentar:
Posting Komentar