Judul Buku : Melawan Bandit Intelektual
Penulis : Fanny Tanuwijaya, SH., MH
Drs. Abdul Wahid, SH., MA
Sunardi, SH., MH
Cetakan :
Februari, 2006
Penerbit :
EDSA Mahkota
Tebal : 364 Halaman
Presensi : Ermawati Puspitasari
Buku ini menjelaskan secara rinci dan detail mengenai berbagai macam
kejahatan yang ada di sekeliling kita, mulai dari kejahatan yang paling
sederhana hingga yang paling kompleks.
Focus buku ini mengupas habis kejahatan yang ternyata dilakukan oleh
orang-orang yang berintelektual. Jenis crime yang ditampilkan pun bukan sebatas
criminal crime yang sering kali terjadi, melainkan kejahatan terselundup,
tersembunyi, kasat mata yang pelaksanaannya halus dan lembut yang ternyata
dilakukan oleh orang-orang yang tahu etika dan moral.
Bila ditelaah lebih dalam lagi, kita seolah tak percaya apa yang
telah tejadi pada saat ini, mengingat globalisasi telah membuat orang rela untuk melakukan tindakan di
luar etika demi nafkah keluarga. Semua kebenaran serasa berwarna abu-abu yang tak jelas di mana
sebenarnya hukum
itu berada. Apakah hukum itu benar-benar ada? Atau hanya sebuah formalitas saja. Kalau memang hukum itu benar-benar ada, di
mana keadilan ditemukan?
Seperti kutipan Einstein yang terdapat dalam buku ini “Kejahatan itu
ada bukan karena penjahatnya, tetapi karena kita membiarkan kejahatan itu
merajalela.” Apakah karena zaman telah berubah?, teknologi berkembang hingga
permasalahan yang hadir pun semakin kompleks?. Fenomena apa yang sebenarnya
terjadi? Mengapa hal ini sampai terjadi? Di mana kebenaran akan ditemukan?
Garis besar buku ini menyingkap tabir misteri yang kini
perlahan-lahan mulai terkuak, yakni kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang
berdasi, orang-orang di kursi besar, orang-orang berbaju rapi, berkata sopan,
hormat dan santun.
Kini pertanyaannya di mana etiket dan moral kita sebagai negara yang
terkenal dengan keramahannya yang ternyata itu hanyalah sebuah topeng yang
menutup kebusukan seorang bandit intelektual yang telah merampas hak-hak
rakyat, memporak-porandakan kehidupan masyarakat, tidak peduli pada rakyat
miskin, dan yang lebih sadis ia mengatasnamakan rakyat untuk memperlancar tindak kejahatannya. Korupsi, kolusi, nepotisme ada di mana-mana.
Tapi itu bukan suatu kebohongan. Itu adalah sebuah fakta yang sudah
melalui survey dan penelitian. Mulai dari kejahatan yang terjadi di dunia pendidikan. Adanya kebocoran
anggaran, debirokratisasi pendidikan, padamnya idealisme, ditambah lagi dewan
sekolah yang menaikkan tarif biaya untuk para siswanya demi kepentingan dirinya
sendiri, homo homini lupus sebuah sistem yang telah menjamur dan mumbudaya
dalam masyarakat menjadikan pendidikan sebagai bentuk dari sebuah penindasan.
Manusia diposisikan tidak ubahnya sebagai objek
yang bisa di korbankan atau ditumbalkan oleh sesamanya yang punya keunggulan
kekuatan, uang dan kekuasaaan.
Ada seorang pengusaha kenamaan yang dengan
tenangnya melepas timah panas dari pistolnya untuk merampas hak hidup orang
lain. Seorang aparat menembak teman seprofesinya hanya karena urusan sepele.
Beberapa oknum polisi bentrok dengan satpol PP karena rebutan proyek “PSK” yang
mengakibatkan ada di antaranya yang terluka parah adalah beberapa sampel yang
menunjukkan bahwa kebiadaban masih di menangkan sebagai pilihan istimewa dalam
hidup masyarakat.
Buku ini mengajak kita berfikir bagaimana
kejahatan itu sesungguhnya tetapi juga membawa kita untuk selalu melawannya
dengan otak dan hati yang bersih, semangat juang tanpa pernah takut salah,
karena pada dasarnya kebenaran itu tidak pernah salah.
Seperti apa yang telah dikatakan “Fiat
Justitia Ruat Coelum” Meskipun langit akan runtuh, hukum harus
ditegakkan. Melawan bandit intelektual adalah suatu
buku yang dengan pemikiran deskriptif, memberikan kita gambaran bagaimana kejahatan
itu sesungguhnya. Lain daripada itu, buku ini pun membukakan mata hati kita
untuk selalu menjunjung tinggi nilai pancasila yang menjadi dasar negara kita.
Beberapa prinsip moral di coba untuk
memperjelas suatu prinsip hidup yang bermartabat. Sebuah pemikiran yang
konvensional dan logis mencoba mengungkapkan dengan adanya prinsip ”Pemartabatan
dan pemanusiaan manusia” maka akan tercabutlah prinsip ”Homonisasi” dan
membumilah prinsip ”Humanisasi”.
Cita-cita itulah yang sebenarnya menjadi pancaran
cahaya teologi kemanusiaan, status Model keimanan terapan, kesalehan aplikatif
yang tidak terhalang oleh sekat-sekat kepentingan ideologi, politik, suku, ras
atau dimensi primordialisme dan bahkan keberagaman itu sendiri.
Buku ini merupakan resapan hati dan reaktualisasi
perasaan dirinya yang menganggap “Hukum” kita masih menjadi alat yang sarat
dengan kepentingan penguasa. Buku ini pun dapat dijadikan alat untuk
menyadarkan para bandit intelektual bahwa ada asas hukum “Hodi Mihi Cras Tibi” (Ketidakadilan yang menyentuh perasaan tetap
tersimpan dalam hati nurani rakyat.)
Bandit intelektual bukanlah bandit yang dapat
dipandang sebelah mata. Beragam akibat dari implementasi perbuatan mereka. Buku ini pun mengupas habis tentang bagaimana seorang aktivis yang dengan semangat
juang penuh gairah, melalui penanya yang tajam, lebih tajam dari pada pedang,
berani dengan lantangnya menegakkan keadilan pada penguasa-penguasa yang tidak
berperi kemanusiaan.