Thank's For

JADI GURU DENGAN MODAL IJAZAH SMP


Nuryati hanya lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Bermodal ijazah SMP tidaklah menghalanginya menjadi seorang pendidik, apalagi akhir-akhir ini, secara formal guru diwajibkan berpendidikan minimal S1. Ia tetap mengajar murid-muridnya dengan semangat dan sabar di Sekolah Dasar (SD) 3 Purun Darat, Desa Sungai Purun Besar, Kecamatan Segedong.
“Sejak tahun 2000 saya menjadi guru disekolah ini, lebih kurang 8 tahun lalu. Awalnya cuma sebagai pengasuh anak-anak kelas satu yang masih polos, dan sekedar membantu
saja bila ada guru yang tidak hadir. Seiring berjalannya waktu saya disuruh menjadi guru. Saya senang sekali, kebetulan sekolahnya juga tidak jauh dari rumah,” kata Nuryati tentang awal mula ia menjadi guru.
Beberapa tahun lalu sekolah yang terletak dipinggiran kota ini, sangat kekurangan guru, tak jarang ada guru yang harus mengajar dua kelas sekaligus. Dengan jumlah 6 lokal dan keterbatasan tenaga pengajar, Nuryati yang semula hanya sebagai pengasuh akhirnya  dijadikan pengajar sekaligus wali kelas satu. Saat itu ia masih ragu akan kemampuannya, namun berkat keuletannya belajar dan melihat guru-guru yang lain, akhirnya jiwa pengajar itu timbul juga.
Sekilas, saat kru Miun melihat cara dan tata bahasa yang digunakan saat mengajar tidaklah berbeda dengan guru-guru yang memang sudah memiliki dasar seorang guru yang diperoleh di bangku kuliah. Dimulai cara pembukaan (apersepsi), proses belajar mengajar, hingga penutup semua hampir mendekati sempurna. Jika ada orang yang melihatnya, tidak akan menyangka bahwa ia hanya lulusan SMP.
Desa yang terletak sekitar 3 kilo meter dari jalan raya ini, termasuk desa yang terbelakang, mengapa tidak, dilihat dari aspek pendidikan, Purun Darat tidak memiliki fasilitas pendidikan berupa Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) apalagi Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Oleh karena itu tidaklah heran Nuryati agak kesulitan mengajar terutama kelas satu. “Mereka benar-benar tidak tahu membaca dan menulis, saat pertama  masuk disini, kerena orang tua mereka juga berpendidikan rendah dan sibuk dengan bertani,” kata Nur.

Gaji Lima Puluh Ribu Sebulan
Walau saat ini pemerintah berusaha meningkatkan taraf hidup guru dengan tunjangan profesi. Sayangnya hal tersebut tidaklah untuk Nuryati, mengapa tidak, tunjangan tersebut akan diberikan hanya kepada guru yang memenuhi syarat guru profesional. Dimana kriteria guru profesional minimal S1 atau lulus sertifikasi guru dan hal itu tidak melekat pada ibu satu anak ini.
“Jangankan S1, SMA saja saya tidak lulus, apalagi sertifikasi, bagaimana saya bisa dapat tunjangan tersebut,” jawab wanita yang lahir 30 tahun ini, saat ditanya tentang tunjangan tersebut. Baginya digaji berapapun diterima, yang terpenting bagaimana bisa menjadikan anak bermanfaat minimal bisa membaca dan menulis di desa yang jauh dari teknologi ini.
Nur mengaku saat memulai menjadi guru honor tahun 2000 ia hanya digaji 50 ribu sebulan, bahkan kadang-kadang tidak digaji. Dengan gaji itu di jaman sekarang tidaklah mencukupi kehidupan sehari-harinya. Namun ia menyadari kekurangannya dengan latar belakang pendidikan rendah , pantas saja digaji demikian. Yang penting baginya ia bisa memberikan yang terbaik bagi murid-murdnya.
“jujur gaji segitu tidaklah mencukupi, belum lagi untuk beli susu anak saya yang baru berusia 1 tahun lebih, sedangkan suami, sama seperti kebanyakan orang-orang di desa, bertani lahan curah hujan, yang bertanam satu tahun sekali. Jadi buat memperoleh hasil panen juga satu tahun sekali lah. Itupun syukur-syukur gak hujan dan banjir. Jika banjir kita hanya memperoleh seadanya saja,” jelasnya.
Saat ini guru honor menerima gaji 3 bulan sekali. Hal itu juga berlaku kepada Nur, untuk itu guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia berjualan bubur di SD tersebut setiap pagi, bila tidak ada jam mengajar. “Yah lumayanlah buat menutupi kekurangan. Kebetulan saya juga berjualan di kantin sekolah, dengan memanfaatkan waktu istirahat,” kata wanita yang lahir  tahun 1978 ini.

Belajar dari TV
Untuk menjadi guru bukanlah hal yang mudah, selain mendidik dan mengajar, guru merupakan orang tua di sekolah. Memberikan yang terbaik buat anak muridnya. Kegiatan itu juga dilakukan oleh Nur, ia merasa menjadi guru adalah panggilan jiwa. Apalagi menjadi guru adalah cita-citanya sejak kecil. Walaupun tidak mengenyam pendidikan di bangku kuliah, Nur berharap dengan menjadi guru Bantu ia memperoleh pengalaman layaknya seorang guru. “Saya memang bercita-cita ingin jadi guru, agar memperoleh pengalaman. Sebelum jadi guru Bantu saya biasanya liat di TV, di situ saya belajar bagaimana menjadi guru,” jelas ibu satu anak ini.
“Saya sangat ingin kuliah, agar bisa jadi guru tapi gak punya uang, tapi sekarang saya sudah jadi guru, tanpa berbekal ilmu yang cukup. walaupun saya hanya sebagai guru pembantu, tapi saya sangat menikmati peran itu, anak-anak SD lucu-lucu dengan karakter yang bermacam-macam membuat kita betah menghadapi mereka,” ungkapnya.

Suka duka mengajar
Murid-murid SD 3 Segedong, bayak berasal dari daerah pedalaman, tak jarang mereka menempuh jarak 3 sampai 4 kilo untuk bersekolah. Dengan bermodal buku, pakaian sekolah, bahkan ada yang mengenakan sandal ke sekolah, baju putih tapi bawahanya coklat, suatu ketidak sepadanan, yang harusnya berpakaian putih merah.
“Disini sudah biasa, berpakaian seperti itu, karena pakaian bukanlah hal yang utama, yang penting belajar, itu juga salah satu sebab mengapa saya menjadi guru, kasian mereka, datang jauh-jauh tapi gurunya tidak ada,” kata Nur sambil memulai cerita.
Nur menceritakan anak-anak yang pernah ia didik, beraneka ragam, bahkan bahasa yang digunakan juga tak kalah aneh, ada yang logat Madura, Cina, dan Melayu. Anak-anak itu tidak semuanya mudah menerima pelajaran, ada yang sangat susah, ada yang nakal.
“Pernah suatu hari ada anak Hurdi namanya kalau enggak salah, karena bertengkar dengan temannya , keesokan harinya ia membawa pisau,  kan lucu, masih kecil udah berani bawa pisau. Duh gempar banget saat itu di sekolahan. Ada juga anak nakal banget, jadi kalau dia nakal langsung disuruh nyanyi, pasti ia enggak mau, karena ia anti dengan yang namanya nyanyi atau nulis. Ada juga anak yang hobinya nangis, hampir setiap hari nangis, belum lagi ada-ada aja yang mau BAB. Melihat tingkah anak-anak yang aneh-aneh mau marah gak jadi,” ceritanya sambil tersenyum, kadang tertawa.
Nur berharap guru-guru sekarang tidak perhatikan dan uatamakan anak-anak jangn Cuma ngejar pangkat.[]

7 komentar:

Cerita Fadhillah mengatakan...

Luar biasa , semoga keadaan sudah jauh lebih baik.

Unknown mengatakan...

Subhanallah. Menginspirasi.
Sya juga lulusan smk, tidak kuliah karena ngga ada biaya. Dengan ilmu seadanya sya brmimpi menjadi seorang guru. Tapi Dijaman sekarang apa bisa tanpa kuliah bisa menjadi guru.

Unknown mengatakan...

Subhanallah. Menginspirasi.
Sya juga lulusan smk, tidak kuliah karena ngga ada biaya. Dengan ilmu seadanya sya brmimpi menjadi seorang guru. Tapi Dijaman sekarang apa bisa tanpa kuliah bisa menjadi guru.

Unknown mengatakan...

Inspirasi banget
Ciiip dch

Unknown mengatakan...

Inspirasi banget
Ciiip dch

Unknown mengatakan...

Subhanallah meng inspitasi,, sy lulusn mts ingin jd guru,

Newsteen mengatakan...

wahhh hebat

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan