Thank's For

Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen. Tampilkan semua postingan

PENAT SAJA SUDAH CUKUP


“Aku juga termasuk dari bagian kehidupan dan salah satu dari ciptaanNya” begitu gumamku apabila aku terhanyut dalam kesendirian. Seperti biasa aku di depan komputer, dan kuketik sesuatu yang dapat ku tulis dari dalam otak sedikit agak terganggu akibat mengosumsi antibiotik. Dari setiap kalimat beberapanya  tertulis sesuatu ungkapan dan uneg-uneg, daripada dipendam dan aku pikir lebih baik tersalurkan melalui tulisan dan akan lebih berarti lagi bila tulisan-tulisan ini dapat dibaca oleh orang-orang yang memang bagian dari bayang-bayang slalu menemaniku saat terlamun, lalu jadi mengetahui jelas dalam pikiranku.
            Kebanyakan kawan atau orang-orang terdekat hanya mengetahui sekilas tentang sebatas logika perilaku, tapi tidak mengerti apa yang sebenarnya bagaimana apa yang memang terjadi pada realita permasalahannya, sesungguhnya seingkali aku telah menceritakan tapi semua bagai angin lalu begitu saja sirna sejalan dengan pergantian musim. Ya memang begitu kehidupan tidak semuanya sempurna, kadang menjadi seorang penyendiri sangat menyenangkan dan bebas apa saja yang mau dilakukan, dan bebas berkhayal seperti tanpa ada yang membangungkan kita saat bermimpi indah.

Mimpi Atau..............

Oleh : MARIA E V LAURIKA L S

Siang hari yang panas. Jalanan yang sudah padat, menjadi semakin padat lagi ketika waktunya para pegawai kantoran dan pelajar pulang setelah menunaikan tugasnya.

Di sebuah gang terpencil, di salah satu sudut kota, keramaian kota semakin menjadi-jadi. Banyak polisi berkeliaran di sekitar gang tersebut, berusaha menghalau kerumunan massa yang semakin membeludak karena ingin mengetahui peristiwa apa yang telah terjadi. Udara semakin pengap.

ENTAH


Namaku Aminah. Abangku Amin. Jadi bapak tak mau repot mencari variasi. Tinggal menambah “ah” sebab aku anak perempuan.
Mungkin saat aku lahir, dia baru pulang bekerja. Badannya bau keringat dan lelah. Wajahnya berpasir, kukunya penuh tanah. Ia bisa saja baru menguburkan seseorang ketika tetanggaku tergesa-gesa menemuinya di dekat makam. Lalu ia pulang dan buru-buru memberiku nama.
Entahlah. Aku tak pernah tanya. Takut ia marah, seperti hari itu di suatu sore yang merah.
“Pak, apa Tuhan juga tidak punya kaki?”
Mukanya yang kecoklatan jadi gelap. Aku teringat malam.
“Jangan kamu tanya begitu Aminah! Kamu dapat dari mana pertanyaan itu?”
“Saya bingung Pak. Mungkin karena Dia sayang saya, Dia menciptakan saya seperti-Nya.”
Bapak menatapku risau. Dia mengelus lembut kepalaku.
“Bersyukurlah Dia masih menganugerahimu hidup, Nak.”
Aku diam. Tak paham. Lalu pelan-pelan menuju kamar yang benderang. Menutup mata, membiarkan cahaya bergaris dan berbintik-bintik mengerubungi pandanganku seperti kunang-kunang.
Cahaya perlahan redup. Lalu aku melihat langit yang berkilau seolah matahari memantulkan sinarnya ke dalam berlian.
Aku terbang dengan sayap biru kehitaman seperti elang. Rambutku bergesek dengan bulu-bulu menimbulkan bunyi riuh seakan topan berputar-putar bersamaku.
Ladang-ladang, jalan raya, puncak gedung tertinggi kulewati. Namun aku tak bisa menikmati indahnya sebab aku ogah menoleh ke bawah. Aku takut jatuh dan tak punya apapun untuk berpijak.

Kutukan


Kutukan............


Cerpen: Pay Jarot Sujarwo

Hujan lagi. Pastinya aku teringat kamu lagi. Ya, kita pernah sepakat bahwa hujan adalah moment paling pas untuk merawat kenangan. Tak ada yang lebih sunyi dari rinai. Ucapmu. Aku menyepakatinya. Mungkin tak akan ada kenangan yang terawat jika tak ada rinai. Ketika sunyi benar-benar sempurna. Pelan-pelan catatan peristiwa masa lalu menyelinap dalam senyap. Kita diam. Aku dan kau sama-sama diam.

“Apa yang masuk dalam kepalamu?” tiba-tiba kau memecah sunyi.

“Rotan kecil yang melibas betis kecilmu, sebab ibumu tak sabar berteriak-teriak memanggilmu dari teras rumah untuk pulang. Kau memang anak yang bandel.”

“Kau yang mengajariku menjadi anak kecil yang bandel. Bahkan sampai sekarang.”

Kita tiba-tiba saja menjadi terbahak. Peristiwa itu. Peristiwa yang begitu berharga bagi kita. Sudah sangat lama.

Aku masih ingat, saat kau meringis dan akhirnya menangis, dengan gagah perkasa aku berusaha membela. Kukatakan pada ibumu, bahwa akulah yang salah. Akulah yang mengajakmu turun ke lapangan, bermain lumpur dan hujan. Akulah yang layak dipukul. Bukan kamu. Hmm, tentu saja ibumu tak mau memukul anak orang lain. Kegagahanku sama sekali tak berarti. Untuk detik selanjutnya, kau hilang di balik pintu rumah dengan ringis dan tangis yang juga membuatku teriris. Sementara aku, hanya bisa mematung di halaman. Membiarkan rinai terus menikam ubun-ubunku. Tak peduli gigil. Tak peduli ibuku yang ternyata juga memanggil.

“Suatu hari aku akan membawamu pergi dari rumah. Dan kita bisa menikmati hujan bersama sepuas-puasnya. Tanpa harus takut omelan bahkan rotan ibu yang mendarat di betis kecilmu.” Begitu aku mendesis. Ikut merasakan ringis dan tangis.

Itu hanya kepingan peristiwa di masa kecil. Peristiwa yang menjadi tanda bahwa kita memang benar-benar akrab. Aku juga masih ingat, betapa lelah kau menghiburku ketika aku merajuk sebab tak seorangpun yang mau mengajarkanku mengayuh sepeda. Aku iri dengan teman-teman yang sudah bisa memakai sepeda. Dengan seenaknya mereka keliling kampung sambil tertawa terbahak-bahak. Tak jarang ketika melintas di depanku, rombongan sepeda itu tak segan-segan mengejek.

“Woi, apa lagi yang bisa dibanggakan anak laki-laki di kampung ini selain sunat dan bisa mengendarai sepeda?” begitu ledek mereka.

Aku lari ke lapangan. Membiarkan mereka terus tertawa-tawa meledekku. Lalu tiba-tiba saja hujan tumpah. Lalu tiba-tiba saja kau memanggil-manggil. Tapi aku tak mau beranjak. Demi dendam mengendarai sepeda. Aku sudah kuyup. Dari jauh kau berlari menghampiri. Mengajakku bersandar di bawah pohon besar di sudut lapangan.

“Kenapa?” tanyamu

“Mereka meledekku. Sebab aku masih belum bisa mengendarai sepeda.” Aku merajuk. Seperti ingin menangis. Tapi aku laki-laki. Tapi kenapa anak laki-laki tidak boleh menangis? Sama seperti kenapa anak perempuan tidak boleh main di lapangan ketika hujan.

“Kamu sedih?” Tanyamu.

“Ya.”

”Kenapa kamu tidak menangis?” Aku terkejut saat kau mengatakan itu. Kau melanjutkan, bahwa kalau aku memang bersedih, sebaiknya menangis saja. Tak ada yang melarang kita untuk menangis. Larangan menangis boleh dilakukan, kalau ada larangan bersedih.

“Tapi aku laki-laki. Dan tentu saja akan malu padamu jika aku menangis.”

“Kamu lihat, aku perempuan, seutuhnya anak perempuan. Tapi aku keluar juga ke lapangan saat hujan. Meski aku tahu pasti kalau pulang nanti akan terkena rotan. Tapi aku puas karena bisa mandi hujan. Nah, sekarang apa lagi yang bisa bikin puas bagi kita yang lagi bersedih kalau bukan menangis?” Sungguh kalimatmu waktu itu membuatku merasa perlu berlama-lama menatapmu. Matamu begitu ikhlas. Hingga kemudian aku sadar bahwa mataku telah basah. Bukan karena hujan. Tapi karena kaca di dalam mataku mulai retak, pecah dan tumpah. Kau biarkan aku menangis. Itu kali pertama aku yang anak laki-laki menangis di hadapanmu yang seorang anak perempuan, tanpa rasa malu sedikitpun.

“Tapi menangis tak bisa membuatku bisa mengendarai sepeda.” Kataku selanjutnya.

Keihklasan di matamu semakin kentara. Bibir kecilmu melampirkan senyum. Kau pegang kepalaku. Dan bilang bahwa, mereka bisa saja tertawa terbahak-bahak sambil keliling kampung dengan sepeda. Tapi mereka tak bisa merebut kebahagiaan kita. Ketika hujan tiba, kita bisa tertawa sepuasnya meskipun tak bisa mengendarai sepeda. Kau juga mengingatkan kepadaku, bahwa akulah yang sebenarnya mengucapkan itu dulu saat pertama kalinya aku menawarkan kebahagiaan dengan mandi hujan di lapangan.

“Tak ada yang bisa lebih membahagiakan anak kampung seperti kita. Selain turun ke lapangan dan menikmati indahnya hujan. Ayolah, turun bersama kami.” Aku yang mengatakan itu kepadamu. Dan kau mengingatkannya kembali. Air mataku semakin deras mengalir. Tapi aku tersenyum. Pelan-pelan berubah menjadi tawa. Terbahak-bahak. Kemudian kau juga terbahak. Kemudian kutarik tanganmu, menyeretmu ke tengah lapangan. Menuju kubangan lumpur. Masih dengan tawa yang terbahak.

Begitulah, kenangan masa kecil. Selalu kurawat. Terlebih saat hujan seperti ini. Aku teringat kamu. Teringat masa-masa itu. Kampung. Tanah becek. Tawa riang. Dan hujan.

Kita selalu bersama-sama. Bahkan kita sempat berjanji untuk selalu bersama. Janji yang kita sepakati di bawah hujan. Saat itu usia kita menjelang remaja. Aku di kelas tiga SMP, kamu di kelas dua. Dan kita tetap mengakrabi hujan. Terlebih ketika aku sudah bisa mengendarai sepeda. Betapa riang kita berdua, dengan satu sepeda, tak sadar sudah keluar batas kampung dan masuk ke kampung sebelah. Keriangan dalam hujan telah membuatku lupa bahwa sudah sangat jauh aku mengayuh sepeda. Sementara kau yang membonceng di belakang, tak sedikitpun mengingatkanku.

“Kamu senang?” Tanyaku

“Sangat senang.”

Sepeda kita sandarkan di batang pohon. Kita yang kuyup turun ke kali. Tertawa-tawa lagi. Terus tertawa.

“Kenapa kau tidak memilih seorang perempuan untuk kau cintai, seperti teman-teman yang lain. Kau sudah sunat, dan kau sudah bisa naik sepeda.” Aku masih ingat, kau yang memulai percakapan ini. Aku tertawa terbahak-bahak.

“Karena kalau aku jatuh cinta, aku akan kehilangan kamu.” Jawabku, “Kalau kau sendiri, kenapa tidak memilih laki-laki untuk kau cintai?” aku balik bertanya.

“Kau sudah tau jawabannya. Sebab aku selalu ingin bersamamu. Dan kalau aku jatuh cinta, kita berdua tidak akan bisa sebahagia ini.” Kau juga terbahak-bahak.

Ya, usia kita cuma berjarak satu tahun. Ibuku pernah bilang, saat kau lahir, ibuku lah yang menemani ibumu. Menyabarkan ibumu dari rasa sakit. Memasrahkan kepada dukun kampung bahwa anak ibumu, kau, akan bisa keluar dengan selamat. Waktu itu aku yang baru setahun ada digendongan ibuku. Dan benar, dukun itu benar-benar bisa membuatmu keluar dari rahim ibumu. Kau menangis keras. Kata ibuku. Kau selamat. Ada aku saat proses kelahiranmu. Ibuku juga pernah cerita. Waktu itu hujan sangat deras. Kau menangis keras. Ibuku bilang, dia teringat saat melahirkanku, dengan bantuan dukun yang sama, hujan menyerangtikam bumi saat pertama kali aku menangis. Kita lahir dengan bantuan dukun yang sama. Kita lahir dengan deras hujan yang sama. Kita memang layak bersama-sama.

“Kenapa kau tidak ingin kehilanganku?” Tanyamu lagi. Tawa terbahakmu kau pelankan.

“Karena aku sudah mengenalmu sejak kau lahir. Dan sampai sekarang, tak ada alasan yang membuatku untuk bisa membencimu. Kalau kau sendiri, apa alasanmu?”

“Karena kau menemaniku saat aku lahir. Dan kuingin kau juga menemaniku sampai aku mati.” Terbahakmu kembali pecah. Kusiram kau yang memang sudah basah karena hujan dengan air kali. Kau membalas. Kubalas lagi. Kau balas lagi. Kita tak pernah hirau dengan basah.

“Maukah kau berjanji bahwa kita akan selalu bersama?” Tawa kita semakin keras. Karena ternyata pertanyaan itu keluar dari mulut kita nyaris bersamaan.

Hujan lagi. Pastinya aku teringat kamu lagi. Ya, kita pernah sepakat bahwa hujan adalah moment paling pas untuk merawat kenangan. Tak ada yang lebih sunyi dari rinai. Ucapmu. Aku menyepakatinya. Mungkin tak akan ada kenangan yang terawat jika tak ada rinai. Ketika sunyi benar-benar sempurna. Pelan-pelan catatan peristiwa masa lalu menyelinap dalam senyap. Kita diam. Aku dan kau sama-sama diam.

Aku teringat dengan janji kita untuk selalu bersama. Sejak lahir bahkan sampai mati.

“Tapi kau mengkhianati janjimu.” Kau katakan itu berkali-kali ketika mengetahui bahwa aku harus pergi. Aku sudah tamat SMP. Dan sebenarnya kita sama-sama tau, bahwa semua anak laki-laki yang sudah selesai SMP harus keluar dari kampung, ikut bekerja dengan kerabat dan sanak saudara, memotong dan mengumpulkan kayu di belantara. Sebenarnya kau juga sudah tau, bahwa kemiskinan di kampung kita membuat kita tak bisa berbuat apa-apa. Hanya menanti umur yang dirasa cukup, lalu bagi yang laki-laki, akan masuk ke hutan, bergabung bersama yang lain, bekerja sebagai penebang kayu. Demi membayar hutang turunan kepada perusahaan. Aneh memang. Kita menebang kayu untuk diserahkan kepada perusahaan. Tapi kenapa ayah bahkan mendiang kakek kita yang juga penebang entah berapa keturunan, berhutang dengan perusahaan?

Tapi aku hanyalah seorang anak remaja yang tak boleh menanyakan itu. Selain hanya menurut. Ya, ketika selesai SMP, aku bersiap untuk masuk ke hutan. Dan meninggalkanmu dalam waktu yang tidak sebentar.

Kau menangis. Aku ingat itu. Kau menuntut janji yang pernah kita sepakati. Bahwa kita harus tetap bersama. Meskipun janji itu kita ucapkan saat usia kita belum dapat mengerti apa-apa.

“Tapi kau juga akan pergi suatu hari. Sama seperti anak-anak perempuan yang lain. Atau kalau kau memilih untuk tetap tinggal di kampung ini, itu artinya kau siap untuk dilamar dan akhirnya menikah. Dan kita tetap tidak bisa bersama.” Kataku mencoba memberi penjelasan. Dan aku tau, bahwa sebenarnya kau juga tau itu. Ketika dirasa sudah cukup usia, anak-anak perempuan akan pergi dari kampung ini. Memalsukan dokumen, menuakan umur, membuat paspor, dan berangkat ke luar negeri. Malaysia, Singapura, Arab, Taiwan, ataupun kemana saja. Menjadi TKW demi membantu hutang keluarga. Kau juga sudah tau, bahwa ada pilihan lain bagi para perempuan yang sudah tamat SMP dan tidak mau menjadi TKW. Cuma satu pilihan. Bersedia dilamar dan pergi menikah.

“Tapi kita pernah berjanji untuk terus bersama-sama.” Kau menuntut sambil terisak.

“Kita akan selalu bersama. Hatimu, hatiku, hati kita, akan selalu bersama.” Aku tak kuasa menahan duka. Kau terus menangis. Tapi kemiskinan di kampung ini membuatku tak bisa memenuhi tuntutanmu. Aku pergi. Meskipun kita pernah berjanji.

Janji itulah yang membuatku selalu teringat kepadamu setiap hujan turun. Di dalam hutan, aku selalu memikirkanmu. Mandor kayu seringkali memergokiku sedang melamun. Kerjaku tak tenang. Terlebih ketika aku tau, bahwa sebenarnya selama ini para penebang cuma dijadikan alat oleh perusahaan. Aku sudah tau, kenapa pada akhirnya keluarga-keluarga kita tidak bisa melunasi hutang.

Perusahaan-perusahaan kayu itu awalnya memberi pinjaman kepada orang-orang kampung. Yang uangnya akan digunakan keluarga yang ditinggalkan sementara para lelaki menebang dan mengumpulkan kayu di hutan. Hutang-hutang ini akan dibayar ketika tiba waktunya mendapat upah bagi para penebang. Tapi apa lacur? Dalam perjalanan pulang dari hutan menuju kampung, kapal perusahaan tidak merapat. Alasannya beragam. Bisa kehabisan bahan bakar, bisa karena cuaca, bisa karena mesin rusak, bisa karena apa saja. Terpaksa para penebang harus menginap selama dua atau tiga malam. Dan sangat lacur. Perusahaan membangun tempat hiburan malam di tengah hutan. Menyediakan bir, house music, dan perempuan-perempuan yang siap dipangku dan dibawa ke kamar jika lelaki sudah mulai mabuk. Uang hasil bir dan perempuan-perempuan itu, kembali disetor ke perusahaan. Uang itu adalah upah para pekerja yang juga berasal dari perusahaan. Dan ketika kapal datang, para lelaki penebang sudah kehabisan uang. Lalu apa yang mau dikasi kepada keluarga di kampung? Jawabannya jelas. Apalagi kalau bukan kembali berhutang kepada perusahaan. Yang itu artinya, mereka harus kembali masuk hutan, untuk kembali menebang, guna membayar hutang. Begitu terus menerus. Dari generasi ke generasi. Dan sampailah aku, lelaki yang sudah remaja, juga harus masuk ke hutan, dengan niat membayar hutang keluarga.

Tapi aku tidak bisa bekerja dengan tenang. Karena selain betapa lacurnya perusahaan, aku juga selalu teringat dengan dirimu. Teringat dengan janji kita yang pernah kita ucapkan bersama. Bahwa kita akan selalu bersama. Sungguh, aku merasa tidak bisa hidup jika kau tak ada. Terlebih ketika hujan datang. Aku rindu dengan kamu. Meskipun pada saatnya tiba, suatu hari nanti, kau akan pergi juga.

Benar. Ketika setelah sekian lama. Akhirnya aku berhasil pulang. Tak sabar menemui ibu. Tak sabar menemuimu. Sampai di rumah, setelah memeluk dan mencium tangan ibu. Segera kutanyakan tentang keadaanmu. Ah, aku sudah tau. Sudah tau sejak dulu. Bahwa bukan hanya aku yang tidak bisa menepati janji, tapi kau juga. Ibuku bilang, bahwa akhirnya kau pergi juga dari kampung ini. Ikut bersama rombongan TKW yang lain ke luar negeri. Ibuku bercerita, bahwa waktu itu sebenarnya kau tidak ingin pergi. Katanya, kau masih menunggu. Ibumu marah. Dan menyetujui lamaran lelaki tua namun kaya dari kampung sebelah. Kau melawan. Kau bilang ke ibumu kalau kau juga tidak mau kawin. Kau bilang, kau masih menunggu. Ibumu semakin marah. Kerja di luar negeri tidak mau, kawin tidak mau.

Tapi kau harus memutuskan. Sama seperti keputusan perempuan-perempuan lain di kampung ini. Kawin atau TKW. Cuma itu pilihannya. Aku tau kau akan membuat keputusan. Berkali-kali kau bilang, kau masih menunggu. Apa lagi yang ditunggu? Ibuku masih bercerita tentang kemarahan ibumu kepadamu. Kalau tidak mau kawin berarti menjadi TKW. Kalau tidak mau menjadi TKW, berarti kawin. Lalu apa lagi. Tak ada pilihan lain.

“Siapa yang menentukan pilihan itu?” Tanyamu.

“Kemiskinan yang telah menjadi kutukan di kampung ini.” Kata ibumu.

Begitulah, aku seperti menyepakati ucapan ibumu. Kemiskinan yang diderita orang-orang di kampung ini sudah menjelma kutukan. Orang-orang tak bisa lari. Kecuali yang mendapat keajaiban yang bisa mengalaminya. Tapi itu pun cuma satu dua. Cuma satu dua orang saja yang menjadi ajaib dan kemudian keluar dari kampung. Melanjutkan SMA, bahkan kuliah. Menjadi orang pintar. Tinggal di kota. Tak jarang orang-orang ajaib ini masuk partai politik. Menebar janji-janji. Dan ketika sudah jadi dan terus menerus bertambah kaya, bukannya pulang ke kampung halaman, tapi malah ikut menandatangani kontrak dengan perusahan-perusahaan kayu.

“Perusahaan-perusahaan itu telah berinvestasi di daerah kita,” itu alasan mereka. Tapi investasi inilah yang telah mengutuk orang-orang kampung sampai entah berapa generasi.

Ibuku masih bercerita. Bercerita tentang kemiskinan. Bercerita tentang kutukan. Dan tentu saja bercerita tentangmu. Hingga akhirnya, karena memang sudah tak bisa lari dari kutukan, kata ibuku, kau memang harus memilih dan membuat keputusan. Dan keputusanmu adalah ikut pergi keluar negeri. Menjadi TKW di Taiwan. Ibuku bilang, sebelum kau pergi, setelah semua urusan pemalsuan dokumen beres, kau sempat mampir ke rumah dan menemui ibuku. Kau bilang kepada ibuku, bahwa tidak memilih untuk menikah, karena kau masih menunggu. Masih menunggu.

“Apakah kau juga menunggu?” Tanya ibuku, ketika mendapatkan aku yang hanya bisa menundukkan kepala mendengar ceita ibuku. Diulanginya lagi pertanyaan itu sebab pada pertanyaan pertama aku cuma diam.

“Apakah kau juga menunggu?” Aku terkesiap. Mataku sudah basah sejak tadi.

“Ya.” Jawabku. Kali ini giliran ibuku terdiam. Tapi aku bisa membaca hatinya, yang mengatakan bahwa, kutukan kemiskinan ini melarang kita untuk menunggu.

Begitulah, hingga saatnya tiba aku kembali ke hutan. Kembali menebang dan mengumpulkan kayu. Namun aku harap di luar negeri sana, kau juga tau, bahwa aku masih menunggu. Seperti kau yang menungguku pulang, begitulah aku yang juga menunggumu pulang.

Lebaran aku kembali ke luar hutan, pulang ke kampung. Tapi kenapa kau tidak pulang? Kutanyakan langsung kepada ibumu. Dia bilang tidak tau. Tak ada kabar darimu sejak tiga bulan. Kau dimana? Aku mencarimu. Dan selalu memikirkanmu. Terlebih ketika rinai hujan menjadi pelengkap sunyi yang paling sempurna. Aku kembali masuk hutan. Kembali pulang ke kampung. Kau tidak ada. Kembali ke hutan. Kembali ke kampung. Kau masih belum berkabar. Kutanya orang-orang. Kutanya calo TKW, bahkan kuberanikan diri untuk bertanya kepada kepala desa dan orang-orang di kantor imigrasi. Jawaban mereka sama. Tidak tau. Kau kemana? Aku terus memikirkanmu.

Hingga kemudian aku bertekad untuk tidak kembali lagi ke hutan. Aku akan menunggumu di sini. Di kampung ini.

Hujan lagi. Pastinya aku teringat kamu lagi. Ya, kita pernah sepakat bahwa hujan adalah moment paling pas untuk merawat kenangan. Tak ada yang lebih sunyi dari rinai. Ucapmu. Aku menyepakatinya. Mungkin tak akan ada kenangan yang terawat jika tak ada rinai. Ketika sunyi benar-benar sempurna. Pelan-pelan catatan peristiwa masa lalu menyelinap dalam senyap. Kita diam. Aku dan kau sama-sama diam.

Aku dan kau sama-sama diam. Ternyata tidak membutuhkan waktu lama menunggumu. Dua bulan setelah aku memutuskan untuk tidak kembali lagi ke hutan, ternyata kau benar-benar pulang. Orang-orang ramai menyambutmu. Aku juga. Setelah semua prosesi selesai, aku dan orang-orang kampung yang lain, yang semula menjemputmu, kembali berbondong-bondong mengantarmu. Tidak ke luar negeri. Tetapi tempat yang layak untuk kau tinggali.

Dan sekarang orang-orang kampung sudah pada pulang. Tinggal aku sendiri di sini. Menepati janji yang pernah kau minta dulu.

“Karena kau menemaniku saat aku lahir. Dan kuingin kau juga menemaniku sampai aku mati.”

Kutepati janjiku. Bersama kutukan yang menimpa orang-orang kampung. Bersama hujan yang kembali jatuh. Di sini, di pemakaman ini kutepati janjiku. Menemanimu.

Hujan teramat deras menyerangtikam bumi.




Warta berita televisi malam ini:

Jenazah seorang TKW di Taiwan asal Indonesia akhirnya berhasil dibawa pulang dan dimakamkan di daerah kelahirannya. TKW ini dilaporkan meninggal dunia karena sebelumnya dibunuh oleh majikan sebab berusaha sekuat tenaga mempertahankan kehormatan. 

Pontianak, 8 Januari 2009

Isthikaharah


Kisah ini bermula saat aku menggoda teman baikku, Anisa, dimalam hari saat aku datang berkunjung ke rumahnya. Aku tak pernah mengira bahwa ejekan yang aku berikan kepadanya akan berujung pada kisah tragis seperti ini. Aku hanya  menggodanya dengan mengancam akan memberi tahukan perasaannya kepada orang yang dia suka, Arif. Tapi, dia malah balik mengancamku. Namun, karena aku yakin  ini hanyalah candaan,  aku tidak menggubris ancamannya, malah semakin memanas manasinya. Aku katakan kepadanya, “katakan saja kepada orang yang aku suka kalau aku menyukainya”. Dan dengan semangat empat lima, dia mengambil hp ku dan langsung menelpon orang yang kusukai dan mengatakan semua perasaanku selama ini.

4 Budaya Dalam 1 Hujan di Beranda Rumah Tepi Parit Tokaya


Bukan nampaknya ia seperti seorang pengembara. Tunggangan lusuh, pakaian kusam, badan yang terlihat guratan. Namanya At tjin. Atau sebut saja begitu. Karena belum pernah kenalan dan memang tidak pernah menyebutkan nama. Sejak kali pertama bertemu. At tjin’ pria tua itu,  berusia sekitar 50-an tahun, peranakan Tionghoa. Ramah tidak, namun terasa familiar kalau diajak bicara dengan guyonan-guyonan segar.

Andai aku boleh memilih (Cerpen)


“Aku bukan boneka untuk jadi mainan, namun aku terlahir untuk memberi senyum pada anak-anak yang tak kunjung dewasa. Aku bukan hidup di zaman Siti Nurbaya, namun aku tercipta menjadi jodoh Datuk Maringgi atas dasar peri kemanusiaan dan atas dasar pengabdian pada orang tua,”.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan