“Aku
bukan boneka untuk jadi mainan, namun aku terlahir untuk memberi senyum pada
anak-anak yang tak kunjung dewasa. Aku bukan hidup di zaman Siti Nurbaya, namun
aku tercipta menjadi jodoh Datuk Maringgi atas dasar peri kemanusiaan dan atas
dasar pengabdian pada orang tua,”.
Dengarlah kisahku tentang sahabat mungil….menangis dalam
ketidakberdayaan. Nasib garis tangan membawanya dalam sebuah nestapa kehidupan.
Tak ada pilihan yang terbaik selain senyum orang yang dicintainya, tak ada
kasih sayang yang ternanti selain cinta orang tuanya. Tak ada kisah yang
sempurna selain menganti posisi sebagai seorang kakak. Dunia seakan berubah
menjadi lautan luas tanpa tepi, tawa bagai racun yang setiap saat kan
mematikannya. ”Aku ingin menjadi seorang yang berarti, bukan menapaki karir
tapi tepiskan karir, bukan pertahankan cinta tapi lari dari cinta, bukan
ciptakan tawa tapi membuat luka, sekali lagi ini bukan yang tebaik, ungkap Ria
sahabat mungilku dengan isaknya dipelukanku.
Mendung
tak berarti hujan, tapi mendung awal dari hujan, bersamaan dengan kehancuran,
masih jelas dalam ingatanku saat derai tangis membasahi pipinya, ia bercerita
tentang hidup yang tak memihaknya, saat perjodohan yang tak mungkin terlepas
darinya, sebagai seorang anak inilah saatnya ia membuktikan betapa ia sayang
dan cinta pada orang tua walau jodoh itu sebenarnya bukan haknya, dengan kata
lain ia harus menawarkan diri sebagai mempelai wanita mengantikan kakaknya yang
telah hilang. ”Aku tak ingin orang tuaku malu, lebih baik aku yang mengalah,
aku yakin dibalik semua ini ada hikmah yang dapat ku petik,” dengan pilunya ia
berkata.
Dalam
senyum ia masih berharap ini semua hanya mimpi, matanya masih menyimpan sebuah
cita-cita besar yang telah siap ia capai, tangannya masih kokoh untuk melambai
dan menerkam dunia, kakinya masih bergetar untuk berlari mengejar cita dan
cinta, hidungnya masih selalu bernafas bangga pada orang yang dikasihinya,
otaknya masih waras untuk menampung inspirasi-inspirasi.
Andai
jalan yang dilewatinya terbuat dari bara ia rela, andai racun yang harus
diminumnya membuatnya mati juga akan di teguknya, andai duri yang akan ia
pegang sebagai tongkat kehidupan walau luka ia telah siap, namun bara, racun
dan duri takkan serta merta menjemput hidup yang digariskannya. Matipun bukan
sebuah pilihan, namun hidup juga bukan impiannya.
”Andai aku boleh memilih aku ingin hidup dengan
pilihan, namun.........aku tak punya hak untuk memilih, karena hidup adalah
pelarian, tidak senyum tidak juga tawa, sekali lagi andai aku boleh memilih,” cerita si mungil saat nasib membawanya
kesebuah lorong pengabdian terakhir, pejamkan matamu karena ini adalah garis
pilihan, matimu....sebuah pilihan.
0 komentar:
Posting Komentar