Namaku Aminah. Abangku Amin. Jadi bapak tak mau repot mencari
variasi. Tinggal menambah “ah” sebab aku anak perempuan.
Mungkin saat aku lahir, dia baru pulang bekerja. Badannya bau
keringat dan lelah. Wajahnya berpasir, kukunya penuh tanah. Ia bisa saja baru
menguburkan seseorang ketika tetanggaku tergesa-gesa menemuinya di dekat makam.
Lalu ia pulang dan buru-buru memberiku nama.
Entahlah. Aku tak pernah tanya. Takut ia marah, seperti hari
itu di suatu sore yang merah.
“Pak, apa Tuhan juga tidak punya kaki?”
Mukanya yang kecoklatan jadi gelap. Aku teringat malam.
“Jangan kamu tanya begitu Aminah! Kamu dapat dari mana pertanyaan
itu?”
“Saya bingung Pak. Mungkin karena Dia sayang saya, Dia
menciptakan saya seperti-Nya.”
Bapak menatapku risau. Dia mengelus lembut kepalaku.
“Bersyukurlah Dia masih menganugerahimu hidup, Nak.”
Aku diam. Tak paham. Lalu pelan-pelan menuju kamar yang
benderang. Menutup mata, membiarkan cahaya bergaris dan berbintik-bintik
mengerubungi pandanganku seperti kunang-kunang.
Cahaya perlahan redup. Lalu aku melihat langit yang berkilau
seolah matahari memantulkan sinarnya ke dalam berlian.
Aku terbang dengan sayap biru kehitaman seperti elang. Rambutku
bergesek dengan bulu-bulu menimbulkan bunyi riuh seakan topan berputar-putar
bersamaku.
Ladang-ladang, jalan raya, puncak gedung tertinggi kulewati. Namun
aku tak bisa menikmati indahnya sebab aku ogah menoleh ke bawah. Aku takut
jatuh dan tak punya apapun untuk berpijak.
***
“Jadi bagaimana Tuhan?”
Dunia gelap. Suara-suara tertidur dalam lipatan awan. Tuhan
sedang berpikir.
“Semua ada takdirnya”.
“Hamba mengerti. Hanya akan sedih sekali melihat ia menderita
tiap malam”.
“Apa yang kamu inginkan?”
“Berilah dia kaki jenjang yang indah. Agar ia menjadi
Cinderella”.
“Bagaimana jika ia malah menjajakan hadiahku atas nama
cita-cita?”
“Wahai Yang Maha Bijaksana, hamba tak terpikir tentang itu.”
Malaikat itu menunduk.
Ia bisa melihat embun yang menempel di hijau daun, hijau rumput, dan hijau lumut.
Sepotong awan menghalangi tatapannya.
“Tuhan, manusia adalah makhluk yang ragu.”
“Aku tahu. Percayalah, aku sudah memberinya sesuatu.”
Matahari terbit. Cahaya menembus celah-celah langit, cabang
beringin, dan lubang ventilasi rumah.
Begitulah aku membayangkan saat-saat sebelum aku tercipta.
Ada sesuatu untukku di dunia ini. Sesuatu yang tak kumengerti.
***
Kurasa tak ada manusia yang mau menghitung beras. Sebutir
demi sebutir. Itu sebabnya orang menciptakan satuan kilogram. Begitu pula orang
tak sanggup menghitung waktu hingga menciptakan hari. Namun bahkan hari menjadi
sesuatu yang sulit dijalani tanpa mimpi.
Sayang, mimpiku terlalu besar. Aku mau menukarnya dengan
siapapun. Biarkan dia memberiku mimpi yang lebih sederhana misalnya sebuah
kematian. Tapi kenyataan telah melelang begitu banyak harapan. Nyaris tak ada
yang tersisa bagi orang sepertiku. Sebab dalam dunia yang dibuat begitu sempurna,
tak ada ruang untuk cacat cela.
Bapak masih sibuk menggali makam. Aku melihatnya dengan
tatapan jenuh. Peluhnya berceceran terserap tanah menjadi air yang kelak akan
menjadi hujan. Bapak sudah sibuk dari pagi. Entah berapa orang mati hari ini.
Kepalaku sering sakit jadi Bapak mendudukkanku di tempat
teduh. Sejak tiga bulan lalu, kepalaku terus berdenyut-denyut. Aku kadang
khawatir ia akan pecah.
Bapak menoleh. Ia menyeringai. Belakangan dia agak aneh.
Seringkali dia tersenyum tapi matanya berkaca-kaca. Ia dan ibu memelukku erat
tanpa sebab yang jelas. Kadang kudengar jantung mereka berdetak cepat
berselang-seling. Kadang air mata mereka jatuh ke belahan rambutku. Hangat.
Meresahkan.
Tapi pagi ini semua menjadi jelas saat ibu memintaku
mengambil sisir di kamarnya. Aku berjalan terseret-seret. Tiba-tiba kaki yang
kujadikan penopang tersandung kaki lemari. Aku tersungkur. Ibu tak mendengar.
Mataku menatap lurus ke sebuah kertas di bawah lemari.
Dug dug dug.
Mungkin hanya sebuah sampah. Mungkin sebuah catatan belanja.
Atau lebih mungkin catatan hutang.
Dug dug dug dug.
Di bagian atas, ada nama rumah sakit tempat aku diperiksa
tiga bulan lalu. Aku tak mengerti sebagian besar tulisannya.
Hanya kalimat terakhir: Hidupnya
tinggal 6 bulan lagi.
***
Bapak menghampiriku. Pekerjaannya selesai. Mayat sudah
dibaringkan dalam kubur. Seorang pria lagi pulang ke dunia yang sunyi atau riuh
rendah. Kita hanya bisa menerka-nerka. Sebab tak ada yang pernah menempelkan
telinga di tanah dengan tubuh terbaring miring dan dua kapas di telinga.
Seperti orang mati.
Aku menautkan dagu di bahu bapak saat ia menggendongku.
Mataku menatap nisan yang tertinggal di belakang. Bunga berwarna-warni ditabur.
Perempuan menangis tersedu-sedu. Ingus meleleh ke bibirnya yang merah bengkak.
Tak seorang pun yang mengulurkannya saputangan. Aku menatap matanya yang sembab
hingga tertutup pucuk kamboja.
Sore itu setelah pulang dari makam, abang membawaku melihat
layang-layang. Langit abu-abu. Ekor layang-layang bergerak kaku.
“Bang, siapa yang menguburkan kalau aku mati?”
Dia mengernyit. Alisnya terangkat. Aku seolah melihat
kembaran bapak.
“Hush! Kebanyakan mengkhayal kamu!”
Lalu ia memandang jauh seakan menembus awan dan melihat
Tuhan. Entah apa yang Tuhan katakan padanya.
Aku tak berani bertanya apalagi menyuruh dia meminta sebuah ajal
untukku.
Oleh: Yauma
Pontianak, 5 November 2009
0 komentar:
Posting Komentar