Thank's For

Spirit Baru Menuju Lido


Mentari menampakkan wajahnya yang bulat berwarna kuning kemerah-merahan di balik kumpulan asap dan kabut di ufuk timur. Pagi itu hawa panas sedang membakar kulit ari penduduk Borneo. Ditambah dengan perihnya saluran pernapasan akibat asap yang berasal dari pembakaran lahan gambut yang merata di pelosok rimba kala musim kering tiba.
Memang telah menjadi kebiasaan bagi petani daerah setempat, mereka pasti membakar lahan pertanian untuk memulai kegiatan bercocok tanam. Dan hal ini tentu saja berdampak negatif bagi penduduk kota karena asap kabut tersebut mengepung kota selama berhari-hari. Bahkan pernah juga mampir ke negara tetangga seperti Kota Singa dan Negeri Malaya.
Meski cuaca tampak tak bersahabat, tapi itu adalah titik klimaksnya Nur Amana setelah sekian lama hatinya berpetualang mencari jati diri yang sesungguhnya.
Hari itu seperti biasa, Nur Amana pergi ke Sekolah Hijau. Pertengahan Juni adalah masa Nur Amana untuk bertatap muka dengan staf pengajar, karena dia akan menjalani Tes Pra Riset. Ketika mentari sepenggalah naik, Nur Amana sampai di Sekolah Hijau. Di pelataran parkir yang hijau, dia disambut dengan senyuman dua orang teman yang ternyata bernasib serupa dengannya. Nur Amana pun menyapa dan membalas senyuman serta mensempatkan diri untuk bercengkerama sedikit mengenai perkembangan akademik mereka. Tak lama kemudian, Nur Amana berlari-lari kecil menuju ruang staf pengajar untuk mencari bapak dan ibu pembimbing riset. Dengan sedikit celingukkan ke kanan dan ke kiri Nur Amana mencari orang yang dimaksud.
“Ya ampun, tak de seorang pun di ruangan ni,” keluhnya dalam hati.
Nur Amana berlalu dari ruangan tersebut dengan langkah tak bersemangat. Meski masih terlalu pagi untuk kecewa, tapi ini adalah kesekian kalinya Nur Amana menunggu mereka yang tak kunjung datang. Padahal mereka telah berjanji kepadanya untuk  bersedia meluangkan sedikit waktu untuk berkonsultasi.
“Pe nak dikate, hanye bise nunggu Nur, sancai … baru jak gitu...belom age` yang laen,” ujar salah seorang teman Nur Amana yang mengerti mengapa dia kembali dengan langkah tak bersemangat.
“Nah ni lah waktunye kite ditempa untok besabar. Sabar jak Nur, segale sesuatunye dah diator same yang Di Atas. Mungkin kau belom waktunye jak ketemu dengan bapak ibu kau tu,” tambah teman Nur Amana yang lain.
“Betol gak kate kau tu, ape lah kite ni. Kite hanye bise berencane, tapi ujong-ujongnye Tuhan gak yang nentukan,” timpal Nur mengiyakan.
Nur Amana sangat beruntung memiliki mereka. Meski mereka terkesan cuek bebek yang dia lihat di cover majalah anak-anak, tetapi mereka ternyata perhatian juga. Tak beberapa lama suasana hatinya kembali seperti semula. Semangat yang semula padam kembali mulai menyala. Ini berkat teman-temannya. Yach, mereka yang telah membuatnya seperti ini.
“Tengkyu pren,” batin Nur Amana.
Tak berapa lama, mereka kembali berbincang-bincang di pelataran parkir. Meski bukan di kafe atau tempat tongkrongan elit lainnya, tapi mereka merasa nyaman dengan lingkungan di Sekolah Hijau. Pelataran yang luas nan hijau ditata apik sehingga multi fungsi sebagai tempat parkir dan taman yang ditanami dengan berbagai macam tanaman hortikultura seperti rambutan, mangga, sirsak, dan lain sebagainya. Selain membuat rindang halaman parkir, tanaman tersebut juga dapat diambil buahnya. Kadang untuk dibagi-bagikan kepada staf pengajar setempat terkadang juga diambil oleh siswa-siswa, atas seizin sekolah tentunya. Sesuai dengan namanya, sekolah tersebut memang benar-benar menyegarkan pandangan mata.
Sekian menit berlalu, perasaan fresh mulai hinggap kepada mereka karena merasa bahwa berbagi pengalaman dan tertawa bersama adalah hal yang membuat segar otak dan otot wajah. Para siswa lain yang berlalu-lalang hanya bisa terheran-heran melihat tingkah laku mereka di sudut pelataran parkir. Kadang pembicaraan dua temannya membuat jidat Nur Amana berkerut bak jeruk purut, terkadang juga bersungut-sungut bak tikus celurut saat menyimak dan mencerna kata demi kata teman-temannya yang sedang berdiskusi mengenai gonjang-ganjing politik sekolah.
Isu santer yang sedang hangat diperbincangkan di kalangan Sekolah Hijau adalah adanya arena bermain di halaman Sekolah Hijau bagian Barat Laut. Hal ini membuat teman-teman Nur Amana yang aktif di percaturan politik sekolah merasa harus kritis untuk memperjuangkan hak sekolah sebagai sarana untuk belajar. Jiwa-jiwa pemberontak begitu hadir dan hidup dari kata-kata yang mereka teriakkan ketika mereka melakukan aksi kepada pihak sekolah beberapa waktu silam. Bahkan dua temannya yang sedang berada dihadapannya sekarang ternyata juga ikut serta dalam demo tersebut dan berbagi pengalaman kepadanya. Ekspresi kekesalan dan kebencian dua temannya terhadap pimpinan sekolah yang tidak adil dalam membuat kebijakan sekolah yang merugikan.
Di sela-sela pembicaraan mereka, senyum pun menyungging dengan manisnya tatkala salah satu staf pengajar favorit Nur Amana melintas dengan anggunnya. Dia adalah Bu Doloza, staf pengajar pada mata pelajaran Pengelolaan dan Pengelolaan Distribusi. Dengan berbalut baju muslim yang sedang “up to date” berwarna merah muda dipadu dengan jilbab warna senada, dia sempat tersenyum kepada Nur Amana dan teman-teman. Mereka pun membalas senyuman beliau. Beberapa langkah kemudian dia berhenti dan membalikkan badannya.
“Eh, kamu, bisa bicara sebentar di kantor?,” tunjuknya kepada salah satu diantara mereka.
Nur Amana dan teman-teman saling celingukkan. Siapa gerangan yang ibu panggil. Mereka pun bingung. Mungkin melihat ekspresi kebingungan mereka, Ibu langsung menyebut salah satu nama mereka.
“Ya, kamu Nur Amana, bisa bicara sebentar di kantor?,” ulangnya tegas.
Nur Amana pun berdiri meninggalkan teman-teman sambil bertanya dalam hati. Apa gerangan yang akan terjadi. Pikiran-pikiran yang berunsur negatif mulai merasuki benak Nur Amana. Maklum, beberapa hari yang lalu Nur Amana “tersandung” dengan salah satu staf pengajar di Sekolah Hijau. Dan itulah yang membuatnya was-was jika dipanggil oleh staf pengajar.
Setelah berjalan mengikuti ibu, Nur Amana beristighfar berulangkali dan mencoba menenangkan hati agar pikiran-pikiran negatif itu segera mereda. Setelah sampai di ruang jurusan, Ibu mempersilahkan Nur Amana duduk. Sesaat kemudian mereka duduk saling berhadapan. Dengan serius ibu memulai pembicaraan. Setelah sekian menit Nur Amana menyimak dan mencerna pembicaraannya, dia pun mengerti. Akhirnya, pikiran-pikiran negatif yang sempat nongkrong dengan tidak sopannya segera berlalu seiring selesainya pembicaraan.
Ternyata ibu menyuruh Nur Amana untuk ikut dan berpartisipasi pada kegiatan Jambore Nasional Gender di Lido Sukabumi, Jawa Barat. Yang menarik bagi Nur Amana adalah sejak kapan ada jambore gender. Perasaan hanya ada jambore pramuka di Jatinangor, Sumedang, tempatnya sama juga, di Jawa Barat. Pikiran pun mulai seliweran seakan-akan meminta jawaban secepatnya. Kemudian ibu menyuruhnya mencatat nomor telepon seluler untuk meminta konfirmasi keikutsertaan kegiatan yang ibu maksud.
“Jambore Gender, apa itu ? Apa kegiatannya, apakah ada perlombaan atau …Apa yang harus dipersiapkan nanti...” Begitu banyak pertanyaan yang begitu membuat benak Nur Amana sesak. Dia berdiam diri sejenak dan berupaya mengirim pesan singkat tanda pengkonfirmasian ke nomor telepon seluler yang ibu maksud. Mencoba untuk mencari jawaban dari berbagai pertanyaan yang bertubi-tubi menghantam benaknya.
Dalam keadaan bingung bin pusing, Nur Amana mohon pamit dengan Bu Doloza untuk keluar dari ruangan jurusan. Beberapa saat teman-temannya menghampiri. Dahi berkerut-kerut dan alis yang nyaris menyatu sangat tergambar jelas dari mereka.
“Oi, ade ape kau dipanggel? kena` kasus agek ke? Malang benar naseb kawan kite ni. Baru gak tekena` dengan ibu tu, eh kena` agek dengan ibu yang baru. Sekretaris jurusan agek tu,” ceplos teman saya sok tau.
“Bukan kasus agek. Ni jak buwat Nur bingong. Ibu nyuroh Nur ikot jambore gender di Sukabumi. Mane sidang belom genah agek. Dah nambah satu cerite. Bantu donk pren, ape nak jadi kalo saye nak ikot kegiatan di luar tapi di dalam belom genah?,” cerocos Nur Amana panjang lebar.
“Wesh, kok kau mantap Nur, belom sidang tapi dah nak jalan-jalan. Keluar daerah agek tu. Sukabumi euy,” ujar si teman ceria.
“Alhamdulillah, berarti kau disuroh jalan-jalan lok, biar otak tu segar dikit. Ambek positipnye jak. Kalo aku bole saran, bagosnye kau sholat istikharah jak. Itu be, sholat sunnat yang tujuannye nentukan antare dua` pilihan. Ikot atau ndak itu urusan Allah. Kau hanye jalankan skenarionye jak. Kalo kau ikot, berarti Allah ridho pejalanan kau ke Sukabumi, kalo ndak jadi pegi, berarti kau disuroh uros sidang kau. Nah shalat tu bagos buwat kau yang punye masalah kayak gini,” saran temannya yang satu lagi.
Perasaan bimbang mulai mengepung benak Nur Amana.
“Iye gak kate teman tu, tapi saye tak pernah yang namenye sholat...ape tadi namenye istirakhah...istikharah? Biasenye kalo bimbang cam ni saye putoskan betanya dengan emak ataw bapak di rumah. Tak pernah dalam seumor idop ni betanya dengan Tuhan!!” batinnya gusar.
Terus terang, tercengang dan takjub Nur Amana mendengar saran dari temannya. Selama ini tak pernah terlintas di benaknya untuk menghadirkan Tuhan dalam menyelesaikan semua masalah yang selalu hadir dalam hidupnya. Yang dia tahu, Tuhan hanyalah Tuhan, tak lebih untuk disembah. Bahkan bukan sebagai tempat untuk memohon dan berlindung.
“Dangkal sekali pikiran saye ni,”ujarnya lagi.
Bagi Nur Amana, sangat janggal untuk berkomunikasi dengan Sang Khalik melalui ritual sholat. Apalagi sholat sunnat seperti sholat istikharah. Maklum, Nur Amana bukan dari keluarga santri yang mengerti dan tahu secara detail seluk beluk ajaran agama yang dia anut. Dia hanya tahu ritual sholat dan puasa, tanpa tahu secara mendalam apa makna dibalik semuanya itu.
Meski Nur Amana sering menghadap Tuhan lima waktu, sangat jarang bahkan tidak ada membekas sama sekali Ruh Tuhan dalam benak dan hatinya selama ini. Sehingga dia menganggap Tuhan hanya hadir dan ada di saat ritual sholat saja. Yach, Tak lebih dan tak kurang.
Seketika itu juga Nur Amana tersadar, bukan sadar naif, tapi sadar kritis. Bahwa dia telah mendangkalkan dan mengabaikan peran Tuhan dalam hidupnya selama ini.
Tak terasa sebulir air mata menetes dengan ringannya di salah satu sudut matanya yang sayu. Ingin rasanya jidat ini bertemu dengan tanah-Nya untuk memohon ampun dan tobat sebenar-benarnya. Tobat kepada Allah sambil berucap Astaghfirullahhal`adzim, saye mohon ampun kepada-Mu Ya Allah. “Thanks God, You are the only one in my life”.
Teman-teman bingung akan sendunya wajah yang Nur Amana tampakkan. Meski mereka tidak tahu secara rinci apa yang ada di benaknya, tapi salah satu temannya mengetahui mengapa dia seperti demikian. Sang teman pun tersenyum, dan menepuk pundak Nur Amana beberapa kali. Sang teman memberi kesempatan kepadanya untuk merenungkan diri kembali sedangkan temannya yang lain makin bertambah bingung.
“Ape yang tejadi, Seharosnye die bangge karne dipileh ibu jadi utosan kampus kite ke Sukabumi. Ngape pulak die jadi sendu cam tu,” ucap teman Nur Amana gelisah.
“Saye nak uros persiapan untok berangkat lok, Pren makasih ye atas semuenye. Terutame awak, gare-gare omongan awak tu, ati saye tebuka sikit. Tengkyu dah beri saye kesempatan untok merenongkan diri,” ujar Nur Amana mantap sambil meninggalkan teman-teman yang masih heran dan bingung.
“Biar jak die balek, die baru dapat jiwe baru tuh. Jangan nak diganggu gugat. Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat-Nye untok Nor di Sukabumi nanti.”
****
Terbukanya mata hati seorang hamba umpama embun penyejuk dalam pandangan sanubari, laksana gulita malam yang tiada pancar cahaya..
ada rahasia di dalam setiap apa yg terjadi, hanya satu cahaya-Mu pembuka sucinya jiwa
cahaya diatas cahaya
Engkau cinta tertinggi dan pemilik hati setiap insan anugerah yg tak ternilai


By : Nur Azizah Hakam
Sukabumi, 16 Juli 2006.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan