Thank's For

CALO : Mengais Rezeki di Lahan Gersang (Humanoira))





CALO : Mengais Rezeki di Lahan Gersang

Oleh: AGUS WAHYUNI


Panasnya matahari membakar telapak kaki// Siang itu di sebuah terminal yang tak rapi// Wajah Pejalan kaki murung mengutuk hari// Jari-jari kekar kondektur genit goda Siang itu disebuah terminal yang tak rapi// Dari sebelah warung sebuah wc umum irama melaju terdengar akrab mengalir// Iringi, deru mesin-mesin// Iringi, tangis yang kemarin.”

Penggalan bait diatas, salah satu lirik dari lagunya Iwan Fals yang berjudul “terminal”.  Lagu yang menggambarkan kerasnya kehidupan serta sulitnya mengais rezeki di terminal yang gersang. Penuh persaingan, saling sikut, menjatuhkan, dan berprinsipkan “siapa cepat ia dapat”.


Suasana terminal pagi itu tampak ramai, begitu pula kesibukan para kondektur yang melambaikan tangannya mencarikan penumpang untuk mengisi bis-bis yang hendak meluncur menuju tujuannya. Pedagang asongan turut pula ambil bagian. Turun bis satu ke bis yang lain. Diiringi hingar-bingar deru mesin-mesin bis yang siap berangkat, juga yang baru tiba.

Jarum jam menunjukkan pukul 07.00 pagi.  Aku duduk di sebuah ruko pada sudut terminal. Segelas kopi dengan asap rokok sebagian mengepul di langit-langit. Mataku tertuju kepada seorang pemuda berkulit sedikit hitam dengan rias wajahnya nyaris sirna. Berpenampilan kusam dan sedikit peluh. Terlihat saku kemeja depannya membuncit keluar diisi dengan setumpuk tiket.  Sembulan dua batang pena juga menempel akrab pada saku kemejanya, ibarat senjata pamungkas.  “Sepertinya ia calo,” gumanku. Calo yang mencari rezekinya di terminal Batu Layang, Pontianak Utara.

Sedikit menatap, seperti mata elang. Tajam liar matanya siap mencari mangsa. Tatapannya selalu datar. Sasarannya, kalau bukan mikrolet, pastilah bis kota.
   
Pemandangan mencolok dan pertama-tama akan ditemui para penumpang ketika tiba di Terminal Batu Layang adalah segerombol para calo. Perasaan was-was dan seolah menghindar terlihat dari penumpang yang hendak turun. Pertanyaan yang dilontarkan pun umumnya sama, “Kemana Pak, Bu. Singkawang, Sambas, Sintang, Sanggau. Sama saya saja, di depan bis siap berangkat”.  

Berbagai rona wajah terpancar dari para penumpang yang hendak turun dari bis kota. Jawabannya hanya gelengan kepala atau pura-pura tak tahu atau mungkin takut dikasih “mahal”. Tapi para calo terus menguntit dari belakang.

Tampak seorang lelaki paruh baya yang hendak mudik. Lelaki dengan ransel bermuatan padat. Di tangan kirinya terbebani kardus yang sedikit menggelembung. “Saya mau ke Sintang, carikan saya bis yang cepat berangkat,” ujarnya pada seorang calo yang dari tadi mengikutinya. Dengan sekejap, calo tadi merampas kardus ditangan lelaki itu. Kemudian berlalu menuju kearah bis Sintang, bercorak kehijauan berlis kuning dengan nomor polisi 7598 D.

“Duduk aja dibangku pojok, nomor dua paling belakang,” ujarnya sambil menunjukkan sebuah karcis bis dari saku kemeja depan, bertuliskan Pontianak-Sintang. “Enam puluh ribu Pak”. Tanpa komentar calon penumpang itu mengeluarkan pecahan enam lembar uang Rp 10.000.

Lelaki itu duduk disebelahku, matanya masih tampak tajam, menunggu bis kota atau mikrolet yang hendak masuk terminal. “ Minum Bang. Kopi, es teh,”  sapaku. “Terima kasih, saya kopi saja,” jawabnya dengan nada pelan. Dari obrolan singkat kami, aku ketahui lelaki itu bernama Edi. Ia bermukim di Jalan Sui Slamet, Siantan Hilir, Pontianak Utara.
.



Bekerja menjadi calo bis di Terminal Batu Layang sudah enam tahun digelutinya. Biasa mangkal dari jam 07.00 wib sampai 12.00 wib. Mengais rezeki di terminal, bukanlah hal yang mudah. Saling sikut, menjatuhkan. “siapa cepat ia dapat”. Hanya satu tujuan, menghidupkan anak istri dirumah. “Anak saya satu, masih kecil, berumur 5 tahun,” paparnya padaku.   

                Dalam satu hari lelaki 27 tahun ini hanya mendapatkan 5 sampai 7 penumpang. Tiap penumpang didapat 10% untuk berbagai jurusan, Sambas, Singkawang, Sintang, Sanggau, Ngabang. Kesemuanya hanya mendapatkan keuntungan sebesar Rp 15.000.  dimulai dari jam  07.00 wib-12.00 wib dan untuk bis jurusan hulu seperti Sintang, Sanggau biasanya diberi bonus, langsung dari supir bis. Untuk satu orang diberi Rp 5.000.  Bis jurusan lain hanya dikasih Rp 2.000.
               
                Bukannya diskrimasi, tapi memang itu kenyataannya. Sehingga tak heran para calo lebih semangat mengejar penumpang jurusan Hulu. Untuk karcis, saya dapatkan dari perusahaan transportasi, diantaranya Lintas Kapuas, Cv. Wahana, Cv. Wana Sakti, Cv. ABM, SJS, DAMRI, dan jasa transportasi lainnya.

                Pendapatan Rp 15.000 sehari dirasakan sangat kurang. Kurang untuk makan dan jajan anak. Untuk menutupi itu semua, istrinya terpaksa bekerja juga. Halimah (25) bekerja sebagai pengumpul karet PT Sumber Djatin, Siantan Hilir. Pergi pagi pulang bahari.

                Tidak setiap hari Rp 15.000 ia peroleh. Terkadang terpaksa pulang dengan tangan kosong. Sepeser pun tak dapat. Lantaran sepi penumpang. Kalaupun ada, sudah terlebih dulu diserobot calo lainnya. “Setahu saya, ini dikarenakan banyak bis-bis luar kota, mengangkut penumpang tidak diterminal. Apalagi kalau subuh dan pagi hari, biasanya mangkal di bawah jembatan tol,” keluhnya. Di samping penumpang yang enggan ke terminal lantaran jarak untuk menuju keterminal cukup jauh. “Kalau ada yang dekat buat apa cari yang jauh” celoteh Edi yang dalam  sebulannya pendapatannya hanya berkisar Rp 300.000.

Sulitnya mengais rezeki diterminal

“Saya terpaksa menjadi calo dikarenakan tuntutan  ekonomi, lahan pekerjaan yang semakin sulit. Waktu itu saya sudah berumah tangga. Anak saya baru berumur tiga bulan. Kehidupan keluarga kami masih ditanggung mertua. Beruntung Ayah menganjurkan saya menjadi calo. Dikarenakan tak tega melihat saya nganggur dirumah terus-terusan. Kebetulan ayah seorang sopir Jurusan Pontianak-Singkawang.” Cerita Edi lagi.

Awalnya memang sulit, pertama kali menginjakkan kaki di terminal. Kebanyakan sopir bis kota  suka iseng. Menggunakan kecepatan 20 Km/jam. Sehingga untuk mengejar terasa sulit, mengalahkan laju bis kota yang hendak masuk  ke terminal.  Saling sikut, menjatuhkan.

“Pernah suatu hari saya mendapat musibah, kaki saya terkilir, saat hendak berebut mengejar bis kota dengan calo lainnya.  Dua hari saya  tak bekerja, dikarenakan bengkak,” kenang Edi.

Bukan hanya Edi, kejadian serupa juga dialami oleh  Abdul Jalal  (30) yang dua tahun lebih dahulu dari Edi menjadi calo. “Untuk awalnya memang sulit, lutut saya bengkak,  disebabkan tergelincir dari tangga bis saat hendak masuk kedalam bis. Seminggu saya tidak masuk kerja,” ujar lelaki yang dikaruniai satu anak ini.

“Penghasilan  saya kurang lebih sama seperti Edi, sekitar Rp 18.000. Guna mencukupi kebutuhan keluarga, istri saya terpaksa berjualan bakso di Pasar Siantan,” paparnyanya yang kebetulan melintas sebelum meminta sebatang rokok  kepadaku.

”Calo  bukan cita-cita  saya, saya mungkin  termasuk orang yang mandiri. Waktu masih duduk dibangku sekolah dasar, dari uang SPP sampai ke uang jajan mencari sendiri.” Edi.

Mandiri, Menjadi Calo

“Percuma aku sekolah tinggi-tinggi, kalau akhirnya hanya menjadi seorang calo bis,” gerutu Edi. Suami Halimah ini  bercerita pernah mencicipi manisnya pendidikan. “Saya salah satu alumni STM 1 Siantan, jurusan outomotif angkatan ‘98. Calo bukan cita-cita awal saya, dulunya saya ingin menjadi mekanik mobil. Lantaran terbentur dana, seperti inilah saya,” celoteh Edi.

Berawal duduk dibangku SMP hingga STM, untuk uang jajan hingga SPP, terpaksa ia mencari sendiri dengan cara menjadi penarik becak. “Rute saya ambil tidak terlalu jauh, dari depan jalan  Sui Slamat, Sui Slamet dalam sampai ke Pasar Siantan. Kebetulan sekolah saya masuk pagi, pulang siang, dan waktu siang saya gunakan untuk menarik, dan pulangnya biasa jam 19.00 wib”.

Dalam setengah hari ia bisa mendapat Rp 5.000. “Dulunya uang segitu dianggap cukup besar, tapi sekarang,  pas-pasan untuk beli beras sekilo,” tambahnya lagi.

                Di sebuah terminal, dengan  terik matahari terasa menyengat, Edi berkata ”maaf sudah waktunya saya pulang, istri dan anakku sudah menunggu, sebelumnya terima kasih atas kopi dan rokoknya.” Sebelum beranjak, aku sedikit bertanya ”apa yang abang harapkan dari profesi calo ini?”. Edi hanya bisa menjawab “cukup untuk makan, dan mati nanti”.  [end]  


0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan