Thank's For

4 Budaya Dalam 1 Hujan di Beranda Rumah Tepi Parit Tokaya


Bukan nampaknya ia seperti seorang pengembara. Tunggangan lusuh, pakaian kusam, badan yang terlihat guratan. Namanya At tjin. Atau sebut saja begitu. Karena belum pernah kenalan dan memang tidak pernah menyebutkan nama. Sejak kali pertama bertemu. At tjin’ pria tua itu,  berusia sekitar 50-an tahun, peranakan Tionghoa. Ramah tidak, namun terasa familiar kalau diajak bicara dengan guyonan-guyonan segar.
Pertama kali bertemu saat kita sama-sama berteduh dari hujan. Di beranda sebuah rumah sederhana di belakang komplek perumahan mewah. Kuperhatikan saat dia memarkir sepeda lusuhnya di sampingku. Dia buka bungkusan dalam boncengan belakang. Karung, Yuph! Sebuah karung putih kusam. Kupikir apa yang hendak ia keluarkan, bajukah, ataukah handuk untuk menyeka air hujan di tubuhnya. Tidak!! ternyata ia mengeluarkan kantong plastik hitam berukuran sedang lalu membawanya agak menjauh dari tempatku berteduh. Tanpa ragu dan canggung, masih mengenakan  jas hujan dengan robekan disana-sini.
Lalu sejenak ia menoleh kearahku, dan berkata. Suaranya pelan dan hampir kalah dengan suara air hujan yang jatuh menimpa atap seng. “Letak sepeda di sini ta’ ape-ape keh??!” katanya. Yang kurang lebih kudengar, logat melayu dengan aksen tionghoa yang kental.
“Letak jak di situ’ tak ngape!!? Tiba-tiba pemilik rumah menyahut. At tjin lalu bergegas menjauh kearah sungai. Tanpa ragu, tanpa canggung menembus hujan. Sedang aku, masih sejenak termangu. Entah apa yang kutermenungkan. Yang jelas aku menikmati sekali ketermenungkanku.
Bersahaja sekali’ pikirku. sepeda lusuh, kantong plastik, karung nilon di sadel belakang, mandi di sungai. Sepertinya tidak ada beban hidup yang ia hadapi. Atau justru sebaliknya, beban yang terlalu berat dulunya yang ia hadapi. Beban secara struktural ataupun beban yang telah melekat karena kultur. Ah’ jadi ngelantur dengan teori. Tapi, kalau Gadamer masih hidup dan mengalami kejadian yang kurang lebih dengan ini. Dekontruksi berubah ndak yach ?!!.
Sempat kubayangkan, mungkinkah Karl May juga melakukan semua itu, ketika ia bertemu Sutherland, atau bercengkarama dengan Winnetou. Tentu tidak dengan sepeda lusuh, dengan  kantong kresek, dengan karung nilon, dan mandi di sungai kecil di pinggiran komplek mewah. Namun, sangat bersahaja. Dan damai di atas bumi.
“Sudah seringkah die mandi disini!!?” tanyaku pada pemilik rumah yang sedari tadi mengajakku berbincang.
“Setiap hari!” katanya.
“Haa…!! Setiap hari” kataku heran dan spontan.
“Setiap siang, orang itu lewat sini dan mandi di sungai. Biase’ kalau tempat mandi kame’ tak ada orang, die’ mandi disitu”
“Tak punya rumahkah die’....?!”
“Entahlah!! Biasepun die’ bawa barang-barang. Helm selalu jak di pakainya. Biase jam-jam tigelah die’ lewat sini” kata pemilik rumah terus menjelaskan.

Terkadang ia berhenti bicara, lalu kupancing lagi dengan pertanyaan yang sederhana. Sudah berapa lama?!!, atau untuk sekedar menghangatkan suasana dengan ungkapan yang sangat klasik ‘nampaknya hujan akan lama turunnya!’. Jika sudah begitu maka panjang-lebarlah ia bercerita. Dengan logat yang coba di Melayukan. Namun aksen Maduranya sangat jelas sekali.  Maklum pemilik rumah itu adalah seorang Madura. Namanya Diran, mas Diran aku memanggilnya. Ia begitu familiar atau setidaknya tidak sombong.
Hujan belum lagi terlihat tanda-tanda akan berhenti. Kami masih larut dengan obrolan-obrolan ringan. Sesekali pandanganku melirik ke arah At tjin yang sibuk dengan basuh membasuhnya. Andai ia adalah seorang bidadara, mungkin tak lama lagi akan muncul pelangi. Namun, tentu tidak! At tjin adalah manusia biasa. Dari pertemuan yang sesaat ini ia memberi satu pelajaran yang berarti. Yang walau ia tak menyadari, namun ia  mencontohkannya, dengan nyata. Akan satu sisi tentang inilah dunia nyata bahkan dalam duniaku sendiri.
Tak lama berselang dalam hujan yang juga belum berhenti, datang seseorang. Lalu menghampiri kami untuk sedikit berteduh. Agak basah baju di bagian pundak dan celana bagian lutut. Nampaknya ia berlari untuk mencoba tidak terlalu basah.
Mas Diran mempersilahkan kami untuk masuk. Namun, kami bilang ‘di sini saja, diberanda!’. Tak begitu lama dan tak begitu sulit akhirnya kami terlibat percakapan ringan. Jonas nama pemuda setengah baya itu. Seorang keturunan Dayak. Ia baru saja turun dari bus yang mengantarnya dari luar kota. Ada keperluan katanya. Ia menjelaskan, panjang lebar. Sudah mempunyai seorang putra dan seorang puteri. Ada rapat bulanan yang harus di ikutinya ia bilang tentang usaha ekonomi yang sudah ia geluti beberapa lama. Dan ia dipercaya untuk mengurus wewenang beberapa daerah.
Dan At tjin, ia masih saja sibuk dengan basuh-membasuhnya. Namun entah ia lupa atau terbiasa, helm berwarna hitam tetap ia kenakan. Dan seperti aku yang menanyakan At tjin. Begitu juga Jonas. Ia pun bertanya tentang At tjin, “Sudah seringkah die mandi disini!!?” atau  “memang rumahnya dimana?”. Lalu mas Diran pun kembali menjelaskan. Sesekali ia melirik ke arahku, karena apa yang ia katakan sama persis dengan apa yang ia katakan saat menjawab pertanyaanku.
Aku jadi teringat tentang keutuhan masyarakat yang coba di bangun. Dan aku masih menikmati percakapan kami bertiga. Percakapan ringan yang membuka ruang budaya pada orang-orang kecil seperti kami. Setidaknya pada kami bertiga saja atau berempat. Dan At tjin, ia memberikan potret lain dari potret yang selama ini terpampang. Dan seolah mereka yang melihat potret itu mengamini. Walau dengan kamuflase.
 Saat ini hujan sepertinya memberi mata pelajaran. Tentang makna kasih dan sayangnya, bahwa ia [hujan] turun dan memberi tanpa membeda siapa yang ada di bawahnya. Tak perduli dia A, atau ia B, atau ia C, bahkan apakah ia D atau E. Semua mendapatkannya, semua merasakannya. Seolah pula hujan, rumah sederhana di belakang kompleks perumahan mewah, Jonas si pemuda setengah baya keturunan Dayak, mas Diran dengan aksen Maduranya, At tjin dengan aksen Tionghoanya, dan aku dengan aksen melayu yang di nasionalkan. Mereka atau kami adalah mungkin bentuk nyata bahwa kita [manusia] bukanlah makhluk yang hidup bersama berdasarkan insting belaka. Kita adalah mahkluk yang memiliki rasa diri (dignity) yang meminta pengakuan dari sesamanya. Inilah hak-hak asasi manusia yang tidak dapat digerhanakan oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Dan, sebagai makhluk sosial, sifat individualisme manusia mencari bentuknya di dalam hubungannya dengan sesamanya yang lain agar dapat di wujudkan kehidupan bersama dengan baik, sesamanya yang lain agar dapat diwujudkan kehidupan bersama dengan baik.
Pengakuan diri. Pengakuan dari sesamanya. Disadari atau tidak mungkin persinggungan kami di saat hujan di beranda rumah sederhana di belakang sebuah kompleks perumahan mewah ini adalah bagian dari sebuah ‘analisis  historis’. Perjumpaan dari individu-individu yang terbawa atau terlekat pada nilai-nilai yang dipandang berharga oleh masyarakatnya. Dan menjadi fundamental dari sebuah budaya.  Ah’ ataukah itu hanya justifikasi bagi mereka yang hendak di akui atau mau di akui akan pengakuan dirinya.
At tjin beranjak dari kayu tertata rapi di pinggir sungai tempat ia mandi. Menuju sepeda lusuh yang diletakkan tak jauh dari kami. Ia pun menggenakan kembali pakaiannya, yang tentu sudah agak basah, lalu ia bersiap dan menggunakan jas hujan. Lalu mendorong sepeda lusuhnya. Melintas tepat di depan kami.
“Terima kasih yeh!” katanya. Dengan aksen Tionghoa yang kental.
“Tak singgah dolo keh” kata mas Diran.
“Saye nak pegi dolo, biaselah ade urusan!” katanya lagi.

Lalu ia melintas jembatan kayu kecil, menghilang menuju jalan ke arah kompleks perumahan mewah.  ‘Ade urusan!, urusan apa kira-kira!?’ selintasku. Atau  jangan-jangan ia bos besar, yang saham mayoritasnya menguasai salah satu bursa saham. Dan ia menggenakan helm agar tidak dikenali.  Sepeda lusuh, kantong kresek hitam, karung nilon, dan barang-barang yang terkadang ia bawa hanyalah kamuflase akan kejenuhan dia akan semua yang dimilikinya. Sama hal apa yang terjadi pada beberapa bagian sosial dan oknum dalam masyarakat. Kamuflase jati diri, nilai, dan pengakuan. Sedangkan sesungguhnya itu hanyalah pelarian dari ketidakadaan jati diri, keenganan atau ketidak mengertian akan nilai dan pencarian akan pengakuan yang tidak di akui.
Tak lama, hujan pun mulai mereda. Dan perbicangan berhenti dengan ucapan terima kasih kepada mas Diran. “Terima kasih!” kata Jonas, lalu dengan setengah berlari ia menghilang dibalik hujan yang masih menyisakan rintik-rintik. Dan sebelum berpamitan aku merapikan posisi daypack di pundakku.

“Terima kasih mas Diran!” kataku.
“Singgahlah sesekali ke sini” katanya.

Akupun melintasi jembatan kayu kecil di atas Parit Tokaya. Di mana di seberangnya terdapat kompleks perumahan mewah, yang mungkin antara tetangga yang satu dengan tetangga lainnya tidak saling mengenal. Dan tepat dibelakangku beberapa saat yang lalu aku menemukan sebuah bentuk miniatur kecil  “the imagined community’. Sebuah bentuk miniatur kecil  akan komunitas yang dibayangkan rekonstruksi sosial dalam membangun suatu keinginan bersama, dari suatu kelompok membangun suatu wadah di dalam pluralitas budaya yang ada di dalam komunitas tersebut.
Hujan yang turun siang sampai sore hari ini memberiku satu arti. Mungkinkah esok hari aku akan menemukan hal yang sama. Tentang keberagaman berbudaya dalam revitalisasi nilai-nilai budaya yang ada dari suatu identitas, dalam tatanan masyarakat. Sebagai bagian dari keberagaman budaya. Sebagai suatu rekontruksi sosial, untuk melihat kembali kehidupan sosial yang berkembang.
Dan bila hari ini, hujan yang memberi makna pelajaran. Mungkinkah besok aku akan di beri pelajaran dari matahari. Bersama At tjin, bersama Jonas, bersama Diran atau bersama individu-indidu yang lain. Yang di dalam diri mereka melekat identitas, sistem, darah serta kulit yang tak dapat mereka pilih ketika dilahirkan. Makna pelajaran dari matahari, saat ia terbit atau terbenam, namun memberi bayangan yang sama pada kami. [aHMAD]

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan