Bukan
nampaknya ia seperti seorang pengembara. Tunggangan lusuh, pakaian kusam, badan
yang terlihat guratan. Namanya
At tjin. Atau sebut saja begitu. Karena belum pernah kenalan dan memang tidak pernah
menyebutkan nama. Sejak kali pertama bertemu. At tjin’ pria tua itu, berusia sekitar 50-an tahun, peranakan
Tionghoa. Ramah tidak, namun terasa familiar kalau diajak bicara dengan
guyonan-guyonan segar.
Pertama kali bertemu saat kita sama-sama berteduh dari
hujan. Di beranda sebuah rumah sederhana di belakang komplek perumahan mewah.
Kuperhatikan saat dia memarkir sepeda lusuhnya di sampingku. Dia buka bungkusan
dalam boncengan belakang. Karung, Yuph! Sebuah karung putih kusam. Kupikir apa
yang hendak ia keluarkan, bajukah, ataukah handuk untuk menyeka air hujan di
tubuhnya. Tidak!! ternyata ia mengeluarkan kantong plastik hitam
berukuran sedang lalu membawanya agak menjauh dari tempatku berteduh. Tanpa
ragu dan canggung, masih mengenakan jas
hujan dengan robekan disana-sini.
Lalu
sejenak ia menoleh kearahku, dan berkata. Suaranya pelan dan hampir kalah
dengan suara air hujan yang jatuh menimpa atap seng. “Letak sepeda di sini ta’
ape-ape keh??!” katanya. Yang kurang lebih kudengar, logat melayu dengan aksen
tionghoa yang kental.
“Letak
jak di situ’ tak ngape!!? Tiba-tiba pemilik rumah menyahut. At tjin lalu
bergegas menjauh kearah sungai. Tanpa ragu, tanpa canggung menembus hujan.
Sedang aku, masih sejenak termangu. Entah apa yang kutermenungkan. Yang jelas
aku menikmati sekali ketermenungkanku.
Bersahaja
sekali’ pikirku. sepeda lusuh, kantong plastik, karung nilon di sadel belakang,
mandi di sungai. Sepertinya tidak ada beban hidup yang ia hadapi. Atau justru
sebaliknya, beban yang terlalu berat dulunya yang ia hadapi. Beban secara struktural ataupun beban yang telah melekat
karena kultur. Ah’ jadi ngelantur dengan teori. Tapi, kalau Gadamer
masih hidup dan mengalami kejadian yang kurang lebih dengan ini. Dekontruksi
berubah ndak yach ?!!.
Sempat
kubayangkan, mungkinkah Karl May juga melakukan semua itu, ketika ia bertemu
Sutherland, atau bercengkarama dengan Winnetou. Tentu tidak dengan sepeda lusuh,
dengan kantong kresek, dengan karung
nilon, dan mandi di sungai kecil di pinggiran komplek mewah. Namun, sangat
bersahaja. Dan damai di atas bumi.
“Sudah
seringkah die mandi disini!!?” tanyaku pada pemilik rumah yang sedari tadi
mengajakku berbincang.
“Setiap
hari!” katanya.
“Haa…!!
Setiap hari” kataku heran dan spontan.
“Setiap siang, orang itu lewat sini dan mandi di sungai.
Biase’ kalau tempat mandi kame’ tak ada orang, die’ mandi disitu”
“Tak punya rumahkah die’....?!”
“Entahlah!!
Biasepun die’ bawa barang-barang. Helm selalu jak di pakainya. Biase jam-jam
tigelah die’ lewat sini” kata pemilik rumah terus menjelaskan.
Terkadang ia berhenti bicara, lalu kupancing lagi dengan
pertanyaan yang sederhana. Sudah berapa lama?!!, atau untuk sekedar
menghangatkan suasana dengan ungkapan yang sangat klasik ‘nampaknya hujan akan
lama turunnya!’. Jika sudah begitu maka panjang-lebarlah ia bercerita. Dengan
logat yang coba di Melayukan. Namun aksen Maduranya sangat jelas sekali. Maklum pemilik rumah itu adalah seorang Madura.
Namanya Diran, mas Diran aku memanggilnya. Ia begitu familiar atau setidaknya
tidak sombong.
Hujan belum lagi terlihat tanda-tanda akan berhenti. Kami
masih larut dengan obrolan-obrolan ringan. Sesekali pandanganku melirik ke arah
At
tjin yang sibuk dengan basuh
membasuhnya. Andai ia adalah seorang bidadara, mungkin tak lama lagi akan
muncul pelangi. Namun, tentu tidak! At tjin adalah manusia
biasa. Dari pertemuan yang sesaat ini ia memberi satu pelajaran yang berarti.
Yang walau ia tak menyadari, namun ia
mencontohkannya, dengan nyata. Akan satu sisi tentang inilah dunia nyata
bahkan dalam duniaku sendiri.
Tak
lama berselang dalam hujan yang juga belum berhenti, datang seseorang. Lalu
menghampiri kami untuk sedikit berteduh. Agak basah baju di bagian pundak dan
celana bagian lutut. Nampaknya ia berlari untuk mencoba tidak terlalu basah.
Mas
Diran mempersilahkan kami untuk masuk. Namun, kami bilang ‘di sini saja,
diberanda!’. Tak begitu lama dan tak begitu sulit akhirnya kami terlibat
percakapan ringan. Jonas nama pemuda setengah baya itu. Seorang keturunan
Dayak. Ia baru saja turun dari bus yang mengantarnya dari luar kota. Ada keperluan katanya. Ia menjelaskan,
panjang lebar. Sudah mempunyai seorang putra dan seorang puteri. Ada rapat bulanan yang
harus di ikutinya ia bilang tentang usaha ekonomi yang sudah ia geluti beberapa
lama. Dan ia dipercaya untuk mengurus wewenang beberapa daerah.
Dan
At tjin, ia masih saja sibuk dengan basuh-membasuhnya. Namun entah ia lupa atau
terbiasa, helm berwarna hitam tetap ia kenakan. Dan seperti aku yang menanyakan
At tjin. Begitu juga Jonas. Ia pun bertanya tentang At tjin, “Sudah seringkah
die mandi disini!!?” atau “memang
rumahnya dimana?”. Lalu mas Diran pun kembali menjelaskan. Sesekali ia melirik
ke arahku, karena apa yang ia katakan sama persis dengan apa yang ia katakan
saat menjawab pertanyaanku.
Aku
jadi teringat tentang keutuhan masyarakat yang coba di bangun. Dan aku masih
menikmati percakapan kami bertiga. Percakapan ringan yang membuka ruang budaya
pada orang-orang kecil seperti kami. Setidaknya pada kami bertiga saja atau
berempat. Dan At tjin, ia memberikan potret lain dari potret yang selama ini
terpampang. Dan seolah mereka yang melihat potret itu mengamini. Walau dengan
kamuflase.
Saat ini hujan sepertinya memberi mata
pelajaran. Tentang makna kasih dan sayangnya, bahwa ia [hujan] turun dan
memberi tanpa membeda siapa yang ada di bawahnya. Tak perduli dia A, atau ia B,
atau ia C, bahkan apakah ia D atau E. Semua
mendapatkannya, semua merasakannya. Seolah pula hujan, rumah sederhana di
belakang kompleks perumahan mewah, Jonas si pemuda setengah baya keturunan
Dayak, mas Diran dengan
aksen Maduranya, At tjin dengan aksen Tionghoanya, dan aku dengan aksen melayu
yang di nasionalkan. Mereka atau kami adalah mungkin bentuk nyata bahwa kita [manusia] bukanlah makhluk yang hidup bersama berdasarkan
insting belaka. Kita adalah mahkluk yang memiliki rasa diri (dignity) yang
meminta pengakuan dari sesamanya. Inilah hak-hak asasi manusia yang tidak dapat
digerhanakan oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Dan, sebagai makhluk
sosial, sifat individualisme manusia mencari bentuknya di dalam hubungannya
dengan sesamanya yang lain agar dapat di wujudkan kehidupan bersama dengan
baik, sesamanya yang lain agar dapat diwujudkan kehidupan bersama dengan baik.
Pengakuan diri. Pengakuan dari sesamanya. Disadari atau
tidak mungkin persinggungan kami di saat hujan di beranda rumah sederhana di
belakang sebuah kompleks perumahan mewah ini adalah bagian dari sebuah
‘analisis historis’. Perjumpaan dari
individu-individu yang terbawa atau terlekat pada nilai-nilai yang dipandang
berharga oleh masyarakatnya. Dan menjadi fundamental dari sebuah budaya. Ah’ ataukah itu hanya justifikasi bagi mereka
yang hendak di akui atau mau di akui akan pengakuan dirinya.
At tjin beranjak dari kayu tertata rapi di pinggir sungai
tempat ia mandi. Menuju sepeda lusuh yang diletakkan tak jauh dari kami. Ia pun menggenakan
kembali pakaiannya, yang tentu sudah agak basah, lalu ia bersiap dan
menggunakan jas hujan. Lalu mendorong sepeda lusuhnya. Melintas tepat di depan kami.
“Terima kasih yeh!” katanya. Dengan aksen Tionghoa yang
kental.
“Tak singgah dolo keh” kata mas Diran.
“Saye nak pegi dolo, biaselah ade urusan!” katanya lagi.
Lalu ia melintas jembatan kayu kecil, menghilang menuju
jalan ke arah kompleks perumahan mewah.
‘Ade urusan!, urusan apa kira-kira!?’ selintasku. Atau jangan-jangan ia bos besar, yang saham
mayoritasnya menguasai salah satu bursa saham. Dan ia menggenakan helm agar
tidak dikenali. Sepeda
lusuh, kantong kresek hitam, karung
nilon, dan barang-barang yang terkadang ia bawa hanyalah kamuflase akan
kejenuhan dia akan semua yang dimilikinya. Sama hal apa yang terjadi pada
beberapa bagian sosial dan oknum dalam masyarakat. Kamuflase jati diri, nilai,
dan pengakuan. Sedangkan sesungguhnya itu hanyalah pelarian dari ketidakadaan
jati diri, keenganan atau ketidak mengertian akan nilai dan pencarian akan
pengakuan yang tidak di akui.
Tak lama, hujan pun mulai mereda. Dan perbicangan
berhenti dengan ucapan terima kasih kepada mas Diran. “Terima kasih!” kata
Jonas, lalu dengan setengah berlari ia menghilang dibalik hujan yang masih
menyisakan rintik-rintik. Dan sebelum berpamitan aku merapikan posisi daypack
di pundakku.
“Terima kasih mas Diran!” kataku.
“Singgahlah sesekali ke sini” katanya.
Akupun melintasi jembatan kayu kecil di atas Parit
Tokaya. Di mana di seberangnya terdapat kompleks perumahan mewah, yang mungkin
antara tetangga yang satu dengan tetangga lainnya tidak saling mengenal. Dan
tepat dibelakangku beberapa saat yang lalu aku menemukan sebuah bentuk miniatur
kecil “the imagined community’. Sebuah bentuk miniatur kecil akan komunitas yang dibayangkan rekonstruksi
sosial dalam membangun suatu keinginan bersama, dari suatu kelompok membangun
suatu wadah di dalam pluralitas budaya yang ada di dalam komunitas tersebut.
Hujan yang turun siang sampai sore hari ini memberiku
satu arti. Mungkinkah esok hari aku akan menemukan hal yang sama. Tentang
keberagaman berbudaya dalam revitalisasi nilai-nilai budaya yang ada dari suatu
identitas, dalam tatanan masyarakat. Sebagai bagian dari keberagaman budaya. Sebagai
suatu rekontruksi sosial, untuk melihat kembali kehidupan sosial yang
berkembang.
Dan bila hari ini, hujan yang memberi makna pelajaran.
Mungkinkah besok aku akan di beri pelajaran dari matahari. Bersama At tjin,
bersama Jonas, bersama Diran atau bersama individu-indidu yang lain. Yang di
dalam diri mereka melekat identitas, sistem, darah serta kulit yang tak dapat
mereka pilih ketika dilahirkan. Makna pelajaran dari matahari, saat ia terbit
atau terbenam, namun memberi bayangan yang sama pada kami. [aHMAD]
0 komentar:
Posting Komentar