Thank's For

MEDIUM STRATEGI KEBUDAYAAN BERNAMA BUKU


Keinginan untuk berkomunikasi merupakan fundamental dari kondisi
manusia. Budaya lisan terbentuk darinya,
kemudian budaya tulisan berkembang seiring dengan perjalanan waktu.
Dan buku, dengan segala fenomena yang ada di dalamnya adalah
konsekuensi dari keinginan tersebut.
Buku seperti dalam bentuk yang kita kenal sekarang ini berasal dari
kira-kira 1000 tahun yang lampau. Dan berkembang dengan sangat pesat
setelah ditemukannya mesin cetak pada abad kelima belas. Proses yang
sangat panjang menuju sebuah bentuk ideal ’an image of ideal
illegibility’.

Apakah sebenarnya buku??. Bergantung pada cara kita melihatnya; apakah dilihat dari karakteristik fiskal, ataukah dari karakteristik fungsionalnya. Secara fiskal, buku terdiri dari lembaran kertas tercetak, disatukan menurut urutan tertentu, ditutupkan dan beralaskan karton tebal yang tercetak pula. Secara fungsional, buku adalah sarana komunikasi tercetak, tersusun di dalam satu atau lebih dan penyajiannya mengikuti suatu sistematika yang wajar. Buku dikatakan sebagai alat penyampaian informasi, sebagai sumber dan tempat penyimpanan informasi sejak dahulu sampai sekarang. Namun kegunaan dan tujuan akhir dari pembuatan buku tidak semata untuk dikarang saja, tidak pula untuk diproduksi dan dibaca orang, merupakan kemubaziran saja3
Pemikiran, karsa, ide adalah sebuah cahaya yang memancar. Dan bukulah ‘medium’ yang menangkap, menyimpan lalu memancarkannya kembali. Mereka adalah cair, dan bukulah yang memadatkannya lalu mencairkannya kembali dalam konsep ruang-waktu berikutnya. Dan proses literer4-lah sebuah makna proses di dalamnya. Perkembangan tentang ‘buku’ semakin membesarkan cahaya yang memancar. Untuk mengawal proses literer yang tak meredup.
Buku tak akan dapat dilepaskan dari ilmu. Begitu pula sebaliknya. Transformasi dari ilmu pengetahuan, pelestarian nilai-nilai luhur intelektual, pemikiran, karya-karsa dan proses generousity.
Kita dapat menelaah keinginan Chairil Anwar ’Aku ingin hidup seribu tahun lagi’ karena maknanya dibukukan. Kita saat ini dapat mempelajari ’dilema Hermes-nya’ Vincent Crapanzano, karena teorinya tercatat. Bagaimana kita memahami ’penolakan’ Dat Mots Sartre, juga bagaimana ’bayi’ yang dikandung F.W Nietzche dalam ’those speak Zarathustra’, atau Negara Bangsanya ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Karena semua itu tercatat.
**********
      Moment seperti hari Buku Sedunia 23 April, Hari Buku Nasional yang diperingati setiap 21 Mei serta HARI AKSARA INTERNASIONAL 12 September ’seharusnya’ mempunyai pesan tersendiri dan arti penting. Dalam upaya, pertama meningkatkan minat baca. Kedua makna penting, bahwa buku sebagai industri yang berkembang, bukanlah sesuatu hal yang berdiri sendiri. Dan ketiga buku sebagai produk kebudayaan.
Pertama meningkatkan minat baca. Moment-moment dalam memaksimalkan tahapan dari kegiatan membaca [tabel 1]. Namun seperti halnya formalitas dan banyak momen lain, semua terhenti pada tataran slogan dan konsep. Peran strategis yang sangat bagus di tataran konsep namun kurang mendapat dukungan dalam tataran aplikasi. Sinergisme5 dan pembentuk suatu hal memerlukan sistem_struktur6, serta kecerdasan dan kekuatan, dalam artian harus dengan cara tepat, akurat, bertahap sekaligus berkesinambungan.
Kegiatan membaca
Kemampuan membaca

Berkaitan dengan tingkat melek huruf
Keterampilan untuk membaca

Berkaitan dengan cara, metode membaca
Kesediaan membaca

Berkaitan dengan [1] kemauan membaca bahan bacaan, [2] ketersediaan bahan bacaan untuk dibaca
Ketekunan membaca

Ketekunan membaca
Kebiasaan membaca

Berkaitan dengan frekuensi membaca
Kesenangan dalam membaca

Berkaitan dengan kebutuhan membaca
Nafsu untuk membaca

Berkaitan dengan kebutuhan membaca
Kelaparan akan bacaan

Berkaitan dengan kebutuhan membaca
Keranjingan membaca

Berkaitan dengan kebutuhan membaca
            Tabel 1 [Pambudi, 13, 1996]                                                               Tabel 2

Peningkatan minat baca merupakan bagian momentum secara keseluruhan. Kegiatan dan kegemaran membaca bukanlah sesuatu yang secara otomatis tumbuh sendiri. Membaca adalah suatu kebiasaan yang harus ditanamkan, harus dipupuk, harus dibina, dan harus dididik. Pembinaan itu tidak hanya terbatas kepada penguasaan teknik membaca saja. Melainkan juga kepada pilhan bahan bacaan7. Minat baca (reading habit), secara langsung atau tidak berkaitan dengan kapasitas dan kemampuan totalitas yang menyangkut pemikiran dan pemaknaan individu.
Pembentukkan kegemaran membaca sedari awal dapat dilakukan dengan keharusan membaca. Pengoptimalan sistem kegairahan belajar dengan pola resources based learning. Pola tersebut mendorong pendidik untuk memberi penugasan dan anak didik mencari jawabannya, antaranya di perpustakaan dan sumber-sumber lain. Dengan pola ini ‘setidaknya’ anak didik mencari jawaban dengan membaca buku serta sumber bacaan lain. Fenomena yang cukup menarik adalah hasil survey yang sering dikemukakan oleh sastrawan Taufik ismail menunjukkan, dibandingkan dengan negara lain ternyata murid SMU/SMK tidak membaca dan mendiskusikan satu buku pun setiap tahunnya. Di luar negeri, murid SMU/SMK diwajibkan membaca dan mendiskusikan 5 – 32 judul karya sastra/tahun. Di Malaysia, mereka diwajibkan membaca dan mendiskusikan 20 buku dan di Singapura 25 buku8.
Rangkaian momen diatas ‘sudah saatnya’ berada pada fase lanjutan dari  hanya tematik-tematik “Dengan hari...........kita tingkatkan minat baca” atau ”Dengan hari ...... mari kita ikuti lomba menulis resensi”. Namun, bukan berarti hal tersebut dilepaskan begitu saja. Perlu perencanaan dan kegiatan yang ’lebih dari itu’. Analogi sederhana, setidaknya jika suatu saat Taufik Ismail melakukan survey kembali, akan menemukan ternyata murid SMU/SMK membaca dan mendiskusikan 3 – 4 buku setiap tahunnya setelah diberlakukannya kebijakan mendiskusikan buku pada mata pelajaran di SMP, SMU/SMK. Jelas itu harapan, dan juga stratergi sederhana untuk dijalankan.
Kata kuncinya adalah diberlakukannya kebijakan. Seberapa besar keinginan dan kemauan para pembuat kebijakan untuk melakukan hal tersebut. Dalam jangka waktu yang bertahap dan berkesinambungan. Teknis tentu pada pemberian kurikulum dan pelaksanaan di sekolah.
Selanjutnya adalah bahwa semua itu merupakan suatu hal yang tidak bediri sendiri. Selain faktor keharusan dan kebijakan, juga ada faktor lain yang menyertainya. Antara lain, [satu] faktor ketersediaan bahan bacaan serta akses informasi. Peran perpustakaan memiliki peran yang penting. Perpustakaan merupakan pusat informasi. Saat dikukuhkan sebagai Pustakawan Utama oleh Perpustakaan Nasional, JP Rompas, mengatakan pemerintah harus memiliki kebijakan umum tentang penyelenggaraan dan pembangunan perpustakaan disertai strategi pelaksanaannya9.
[dua] Peran keluarga. Kegiatan membaca dan minat baca bukan faktor keturunan, melainkan kebiasaan hasil didikan, latihan yang dilakukan sejak dini. Namun sayang, sangat sedikit anggota keluarga dan keluarga yang membiasakan diri untuk membaca. Anggota keluarga lebih sering memanfaatkan waktu senggang dengan menonton acara televisi daripada membaca. Berdasarkan hasil statistik tahun 1993, 66% penduduk usia 10 tahun ke atas lebih suka menonton televisi, hanya 22,25% yang membaca koran/majalah. Bahkan berdasarkan temuan Prof. Ir. Abdul Rahman Saleh (Ketua Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia), waktu yang dipakai untuk membaca para mahasiswa Indonesia kurang dari satu jam, lebih rendah dua jam dibandingkan dengan waktu untuk menonton acara televisi. Sedikit intemezzo, mengutip apa yang disinyalir oleh Neil Postman bahwa hiburanlah yang akan membawa kebangkrutan peradaban suatu bangsa.
[tiga] Teladan. Para pendidik dan orang tua harus memberi contoh. Bagaimana mungkin anak didik/anaknya bisa gemar membaca bila pendidik/orang tuanya malas membaca. Bagaimana pendidik bisa memberi penugasan bila dia tidak mempunyai wawasan luas?10. Pepatah mengatakan, ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’. Anak akan melihat bagaimana teladan, orang yang memberi tugas. Jika orang yang dipandangnya sebagai teladan baik, maka [dengan disertai penerapan] dia akan mencontohnya baik. Namun bila orang yang dipandangnya sebagai teladan berperangai buruk, maka dia akan mencontohnya buruk. Atau mungkin anak itu akan berpikir negatif, tidak percaya pada sosok ’oknum teladan’ itu. ’bual-bual, omong lain jak!’ kata orang Pontianak. ’Bullshit!’ kata orang liverpool, ’Geplaudersleer!’ kata seorang kawan dari Frankfrut.
******

Makna penting yang kedua adalah, bahwa buku sebagai industri yang berkembang, bukanlah sesuatu hal yang berdiri sendiri. Ada sebuah humanity interaction, fenomena sosial, ekonomi, politik dan budaya didalamnya. Proses interaksi yang terjalin antara buku dan masyarakat, antara penerbitan buku [industri buku] dengan masyarakat adalah cerminandari fenomena yang terjadi, bahkan yang akan terjadi. Mengutip Levi-Strauss, ’kebudayaan baca-tulis secara masif dimanfaatkan. Bukan saja untuk pencatatan praktik hidup sehari-hari, namun dapat pula direkayasa oleh pihak tertentu demi memperkuat, membenarkan diri sendiri, atau meminggirkan pihak lain.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah ’pihak tertentu’ itu adala industri buku. Untuk menjabarkannya, mungkin sama seperti kata-kata di awal tulisan ini. Dengan perbandingan tentunya, apakah sebenarnya buku??. Bergantung pada cara kita melihatnya; apakah dilihat dari karakteristik fiskal, ataukah dari karakteristik fungsionalnya.begitu pula untuk ’pihak tetentu’. Karena, bagaimanapun perlu disikapi secara kritis pula, bahwa apakah industri buku digerakkan oleh kepentingan yang kekal atau tentatif11. Jika bergerak dalam kepentingan yang kekal, penerbitan buku haruslah mengutamakan satu transfer of knowledge. Yang terkait dengan proses pendistribusian pengetahuan. Transformasi dari ilmu pengetahuan, pelestarian nilai-nilai luhur intelektual, pemikiran, karya-karsa dan proses generousity. Beserta transfer of values yang lebih dekat dengan internalisasi ukuran manusia.
Akan tetapi, bila hanya berpijak pada kebutuhan tentatif, maka industri buku [penerbitan buku-red] dengan sejumlah fenomena di atas dipastikan di dorong oleh motif  mencari untung. Ada euforia di dalamnya. Jika demikian penerbitan buku mempunyai potensi membangun humanisme, sekaligus juga mengandung bahaya yang digerakkan oleh kekuasaan pasar12. Jika demikian penerbitan buku mempunyai potensi membangun humanisme, sekaligus juga mengandung bahaya yang digerakkan oleh kekuasan pasar12. Jika demikian lupakan apa yang dikatakan Louis L ’Amour ’bahwa buku adalah kemenangan terbesar yang diraih manusia’. Karena, jika demikian waktu sudah memasuki injury time, dimana, buku adalah penakluk terbesar dari pasar.
Perkembangan yang pesat dari industri buku tanah air, khususnya setelah kurun 1998 tentu membawa angin segar. Namun angin segar tersebut bisa menjadi ’angin sepoi-sepoi’ yang justru dapat melelapkan industri buku atau yang lebih parah, angin tersebut berubah menjadi ’angin puting beliung’ yang akan meluluhlantakkan industri buku.
Sinergisme mutlak diperlukan bagi setiap komponen yang berada di dalamnya. Penulis, penerbit, pencetak, pedagang/toko buku, perpustakaan. Untuk membawa buku dan industrinya kepada transfer of knowledge dan transfer of value. Mengawal buku sebagai ‘medium’ yang menangkap, menyimpan pemikiran, karsa, ide sebagai cahaya yang memancar dari fenomena sosial, ekonomi, politik dan budaya. Dengan memberi komposisi dan ruang yang seimbang terhadap tema-tema, subyek serta obyek buku. Memberi ruang pada masyarakat, untuk menilai secara obyektif tentang buku yang mereka inginkan dan buku yang baik bagi mereka. Melalui informasi yang berimbang. Bukan hanya ‘iklan manis-manis’. Dan tanpa dalil terselubung setting hegemonik. Baik hegemoni kepatuhan masyarakat atas kelompok13 atau hegemoni kepatuhan masyarakat atas pasar14.
******
Dan ketiga buku sebagai produk kebudayaan. Ignas KLeden menyatkan “buku adalah sebuah produk kebudayaan. Kekuatan buku sebenarnya terletak pada rahim kebudayaan yang menghidupinya. Buku dapat dipandang sebagai sebuah produk budaya, tingkah laku budaya, dan terutama sebagai proses produksi budaya. Kehadiran buku, tak pelak adalah cerminan masyarakat15.
Setuju atau tidak, buku adalah point ketiga wujud budaya; ’sebagai benda-benda hasil karya manusia’. Sekaligus representasi kasat wujud pertama dari ’budaya, sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya16. Budaya dengan kebudayaan dan sistem sosial yang membentuk. Terjadi melalui proses yang berkesinambungan.
Dan sebagai produk kebudayaan. Buku juga memiliki andil dalam mekanisme perubahan yang akan, kini dan nantinya menelurkan sesuatu yang sering disebut nilai global (global value). Buku adalah tidak bebas nilai. Dan jikapun anda berpendapat, bahwa buku harus dan bebas nilai, maka sesungguhnya anda telah mengatakan ketidakbebasan nilai itu dengan menilai akan ketidakbebasan nilainya.
Salah satu akses global value adalah semakin pragmatisnya perilaku yang menyertai. Jika demikian kepentingan-kepentingan tentatif semakin memiliki ruang. Point strategi apa yang seyogyanya berbarengan dengan kemunculan fenomena tersebut??!.
****
Dengan memberi komposisi dan ruang yang seimbang terhadap tema-tema, subyek serta obyek buku. Juga memberi ruang tak terbatas pada masyarakat, untuk menilai secara obyektif tentang buku yang mereka inginkan dan buku yang baik bagi mereka. Komunikasi dua arah yang simbiosis mutualism memiliki akses yang baik dalam pola hubungannya.
Kata kunci seperti yang tertulis di atas adalah sebuah sistem yang perlu dilanjutkan ke dalam struktur. Peran serta semua komponen mutlak diperlukan. Peran pemerintah dalam mengakomodir fenomena yang berkembang dan dalam mengeluarkan kebijakan. Pengaturan tentang item-item tema buku yang ’harus –tidak harus, boleh-tidak boleh’ beredar dan diterbitkan jelas tidak mungkin. Atau pembatasan penyebaran eksemplar judul tertentu.
Namun, strategi kebudayaan adalah hal yang fleksibel dan maha luas; misalnya saja, pengenaan pajak 1% sampai 2% diluar pajak lain bagi buku yang berasal dari luar negeri. Baik itu buku terbita dari penerbit luar atau buku terbitan luar negeri yang diterbitkan ’kembali’ oleh penerbit dalam negeri, buku terjemahan, atau bukan terjemahan. Dan dihitung pada harga netto bukan dengan harga bruto. Artinya dihitung dengan harga yang dijual di toko buku kepada khalayak, bukan harga yang diberikan penerbit/distributor kepada toko buku. Dari hasil tersebut secara teknis dan langsung diperuntukkan dalam memobilisasi industri buku lokal. Seperti: memberi bantuan pada proses pencetakan karya-karya lokal yang lebih bersifat humanis daripada yang bersifat populis, pemberian ’silang’ royalti kepada penulis, workshop yang bersifat berkesinambungan tentang editorial buku, membantu membangun perpustakaan komunitas atau membantu toko buku komunitas/toko buku discount.
Analogi sederhananya, pajak 1-2% dari harga buku Rp 50.000,- adalah Rp 500 – Rp 1.000,- / eksemplar. Jika satu kali terbit sebuah judul buku bereksemplar 1.000 saja, maka ada sejumlah Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000,- untuk satu judul buku. Misal dalam satu tahun ada 100 judul buku yang beredar, maka ada dana ’taktis’ sebesar Rp 50.000.000 – Rp 100.000.000,-.
Angka kecil mungkin, namun itu hanyalah sebuah analogi sederhana dan akan sangat berakumulatif. Dapat dibayangkan eksemplar buku Harry Potter yang beredar. Buku pertama pada minggu I bulan September 2000 dicetak 15.000 eksemplar, jumlah yang sama pada minggu III Oktober. Dan pada November 2000 dicetak sebanyak 50.000 eksemplar. Buku kedua langsung dicetak 30.000 pada minggu I November dan minggu IV sebanyak 50.000 eksemplar17. ’Lebih dahsyat’ lagi pada edisi kelima Harry Potter dan Orde Pheonix, untuk edisi sampul tebal, tersedia 30.000 buku dan sampul biasa (soft cover) ada 120 ribu eksemplaryang dijual di toko buku dengan harga Rp 90.000,-. Cetakan pertama kedua versi buku tersebut sudah habis dipesan. Dan dicetak lagi untuk kedua versi masing-masing 30.000 eksemplar18.
Atau novel-novelnya Sidney Sheldon, Agatha Cristie, Danielle Steel dan lain-lain atau komik-komik dari luar negeri. Dari 1.500 judul yang telah diterbitkan EMK hanya tahun 1985-1994nya berasal dari Jepang. Dengan angka 40.000 untuk komik Dragon Ball, 50.000 eksemplar komik Doraemon. 65 ribu Komik Sailormon19. Dapat dibayangkan kesederhanaan analogi di atas serta akumulatif angka-angkanya. Apa yang bisa dilakukan dengan fenomena tersebut. Royalti ada di luar negeri, kreatifitas berasal dari ranah lain. Namun, pangsa pasar dan konsumsi pembelian ada di masyarakat kita. Apa yang dapat dilakukan masyarakat bagi masyarakat. Fenomena bagi fenomena.
****
Persentase teknis tentu perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi yang nantinya berkembang. Setelah angka-angka tersebut, maka entry point selanjutnya adalah bagaimana proses pengucuran dana yang ada. Selain sistem_struktur, dalam hal ini sangat diperlukan idealisme yang dibarengi transparansi.
Memberi bantuan pada proses pencetakan karya-karya lokal yang lebih bersifat humanis daripada yang bersifat populis. Bukanlah ’juga’ semudah membelikkan telapak tangan. Belajar dari beberapa pengalama., seperti pengucuran dana lembaga donor untuk ’mengoptimalkan’ penerbitan dibeberapa daerah. Namun ada indikasi itu kurang mengenai sasaran dan hanya sebatas ’bagi-bagi jatah’ bagi penerbit tertentu dengan penerbit yang lahir sedetik setelah mendengar program tersebut. Siapa yang dipersalahkan!? Tidak perlu mengecat bulu kambing menjadi hitam. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita mengambil hikmah dari itu semua untuk selanjutnya memproyeksikan serta menjalankan strategi kebudayaan.
Kompetisi sehat perlu diterapkan. Dan setidaknya dibuat dan ditentukan rambu-rambu ’permainannya’. Bukan maksud untuk mengekang kebebasan. Hanya untuk menghindari praktik yang tidak diinginkan terjadi, tanpa kecurangan, tanpa sikut-sikut, dan tanpa bual-bualan manajemen. Niat dan pandangan baik memang hal ’sederhana’, namun kesederhanaan tersebut juga dibarengi oleh tanggung jawab. Baik tanggung jawab moral teknis ataupun tanggung jawab teknis. Karena ”kecurangan adalah hal-hal yang tak terpikirkan lembaga donor. Prinsip kita, menganggap semua orang baik ” kata Yohanes Senior Programme Officer Oxfam. ”Funding hanya memfasilitasi masalah dana. Ketelitian dan akuntabilitas menjadi prioritas kesekian. Audit laporan dan track record penerbit tak dihiraukan. Ketidaktelitian ini terjadi, karena etiket pemberian dana, funding tak berhak mencampuri urusan manajerial mitranya. Urusan curang, mark up tak menjadi pertimbangan. Asal anggarannya rasional.”
Bila karena etiket pemberian dana, funding tak berhak mencampuri urusan manajerial mitranya. Itu adalah hal yang wajar. Funding berada dalam lingkar luar [bila coba dan mau kita analogikan], funding hanya memfasilitasi masalah dana. Namun bagaimana bila yang menyepakati etiket itu adalah dari intern sendiri. Penerbit lokal, pemerintah, distributor, toko buku, penulis. Dana yang ada adalah dana yang dibarengi tanggung jawab. Tidak se mata nominal angka. Bisnis yang lebih humanis mungkin.
Pemberian ’silang’ royalti kepada penulis, dimaksudkan agar produktifitas, kualitas dan kuantitas penulis dengan karyanya meningkat. Ini juga dapat meningkatkan gairah perseorangan yang ingin menulis dan mempublikasikan karyanya.
Workshop yang bersifat berkesinambungan tentang editorial buku, dimaksudkan agar kualitas isi dan makna terbitannya semakin baik. Dari aspek terminologi, kosakata, gramatikal, atau mungkin juga gahzeit.
Membantu pembangunan perpustakaan komunitas, dimaksudkan agar pemerataan terhadap akses buku dan informasi terbagi merata. Dan peran perpustakaan komunitas yang dapat langsung menyentuh secara spesifik dalam penyebarluasan buku kepada pemakai terakhir, yaitu publik.
Membantu toko buku komunitas/toko buku discount, dimaksudkan karena disadari atau tidak di’sini’lah kantong-kantong budaya dengan individu didalamnya langsung bersentuhan dengan obyek (buku). Da juga dimaksudkan untuk menngkatkan daya beli. Meningkatnya daya beli sejalan dengan penyebaran dan akses buku serta bahan bacaan. Semua itu adalah sebuah dialektika.
Namun, ini hanyalah langkah awal untuk sebuah kesinambungan strategi kebudayaan. Sebuah tulisan yang perlu dan sangat perlu ditindaklanjuti. Sebagai analogi, ibarat bermain sepak bola, bola masih berada di pemain belakang (bek). Perlu di oper ke gelandang lalu diteruskan ke striker. Tinggal penerapan strateginya, apakah bola di alirkan dari kaki ke kaki, melalui umpan terobosan atau melalui umpan lambung.
Penerapan strategi yang menjembatani antar lini. Untuk pencapaian ’an image of ideal illegibility’.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan