Thank's For

Diskriminasi Itu Masih Ada_LPM Untan Resensi

Diskriminasi Itu Masih Ada

Judul buku                  : Jalan Berliku Menjadi Orang Indonesia
Tebal halaman isi         : 97 halaman
Penulis                         : Rebeca Harsono dan Basilius Triharyanto
Penerbit                       : Kepustakaan Popular Gramedia (KPG )

Demikianlah. Tjun Mei harus berjuang keras untuk mendapatkan aktak lahir bagi keempat anaknya. Hingga lebih daripada 30 tahun mereka tidak memiliki akta lahir, secarik surat pembuktian yang tak kalah pentingnya dengan SBKRI.
Akta lahir adalah surat yang dipakai Negara sebagai bukti sebagai warga Negara ( Indonesia ). Bagi orang tionghoa dari keluarga miskin, membuat akta lahir merupakan perjuangan penuh liku-liku, karena surat keterangan itu menjadi sumber diskriminasi dan persoalan bagi orang toinghoa yang stateless (tak punya kewarganegaraan). Dan untuk memperoleh akta lahir, sorang tionghoa harus memiliki SBKRI, yang bagi Tjun Mei butuh waktu puluhan tahun untuk memperolehnya.
Tjun Mei ingin keempat anaknya, yang sudah menikah, memiliki akta lahir. Ia selalu prihatin dan khawatir anak-anaknya tersiksa berlarut-larut karena tak memiliki surat-surat lengkap. Ketika berurusan soal pekerjaan dan pendidikan, misalnya, surat itu dapat menghentikan hak-hak yang mesti ia dapatkan.
Pada 2005,Tjum Mei, didampingi LADI, mendaftakan anak-anaknya untuk pembuatan akta lahir. Anak-anak Tjun Mei adalah kelompok keluarga cina benteng miskin yang membuat akta lahir melalui jalur prodeo atau tidak dipungut biaya.
Bagi Tjun Mei, juga ibu-ibu cina benteng lainnya, jalur prodeo tidaklah mudah. Priatna-anak pertama, sudah menikah, dan memiliki anak-bagi keluarga Tjun Mei, adalah saksi pahit proses mengurus akta lahir melalui jalur prodeo. Priatna adalah korban tindakan sewenang-wenang pihak pengadilan.

Sepenggal cuplikan alinea diatas menggambarkan contoh kecil tindakan diskriminasi yang dialami oleh orang-orang cina miskin. Perbedaan etnis, strata social yang dianggap rendah, diskriminasi gender, tingkat pendidikan dan perbedaan agama dengan penduduk pribumi  semakin mempersulit warga keturunan ini untuk memperolah hak kewarganegaraan. Padahal mereka lahir di Indonesia yang sebagian besar merupakan hasil perkawinan campuran antara orang cina dan orang betawi pada masa colonial belanda.
Melalui buku ini, Rebeka Harsono dan Basilius Triharyanto, menceritakan secara gamblang pengalaman pahit tujuh orang perempuan tionghoa dalam memperoleh pengakuan dan hak-hak sebagai warga Negara Indonesia. Kisah ini tidak terjadi di pedalaman nusantara, yang mungkin tidak terjangkau oleh para pengambil keputusan, melainkan di dekat pusat pemerintahan Jakarta, tidak jauh dari halaman belakang bandara internasional Soekarno-Hatta yang keberadaannya secara tidak langsung menggusur keberadaan komunitas marginal ini.
Buku ini juga menjadi saksi bahwa mental birokrasi pengambil keputusan, masih mengadopsi pemikiran colonial, penjajah, lintah darat, dan entah apalagi sebutannya. Jargon “kalau bisa dipersulit, kenapa mesti dipermudah” tampak jelas tergambar dari penuturan perempuan-perempuan cina benteng ini ketika mengurus akta kelahiran bagi anak-anak mereka. Tak ayal, jalur prodeo yang seharusnya tanpa biaya dan memang dikhususkan bagi mereka, hanyalah sebuah aturan yang tertuang diatas kertas, tanpa realisasi. Pada Akhirnya, uang merupakan jalan keluar bila segala urusan ingin segera diselesaikan.
Buku-buku bermutu seperti ini memang sangat jarang mendapat predikat Best Seller, bila dibandingkan dengan kisah cinta ataupun fiksi ilmiah. Hanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang tertarik membaca kisah-kisah perjuangan masyarakat “terjajah” di masa kemerdekaan yang sebetulnya banyak terjadi di Negara ini.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan