Ruangan itu penuh dengan kumpulan skripsi mahasiswa dari
setiap fakultas. Tiap tahunnya tumpukan tugas akhir mahasiswa tersebut terus
bertambah. Lihat saja dari cover depan yang masih bagus sampai yang sudah usang
tetap tersusun di rak walau tampak tak rapi. Beberapa mahasiswa terlihat serius
dengan skripsi di depannya. Ada yang hanya membaca, namun ada juga yang sambil
mencatat isi skripsi. Entah mereka mengutip isinya atau hanya mencatat
referensi tanpa membaca bukunya. Ternyata tidak sedikit mahasiswa yang mengutip
isi skripsi yang sudah ada, ketimbang mencari literatur tentang masalah yang
diangkat, anggap saja
sebagai jalan pintas. Cara instan ini digemari sebagian
mahasiswa guna mendapat gelar sarjana. Benarkah ini sebuah tradisi?
Salah
seorang karyawan perpustakaan Untan, Drs Rudi bicara panjang lebar tentang
kebiasaan mahasiswa ini. Menurut bapak yang saat itu sedang menjaga ruang
skripsi, pada saat liburan pengunjung perpustakaan khususnya di ruang skripsi
mengalami peningkatan. “Biasanya mereka membaca, mencari judul skripsi yang
berhubungan dengan skripsi yang dibuatnya bahkan ada yang mengutip skripsi
orang lain,” ungkapnya.
Dikatakan
Rudi, kebiasaan mahasiswa yang seperti itu (mengutip) sudah menjadi polemik
sejak lama. “Dosen juga tidak menguji dari mana mahasiswa mendapatkan
sumbernya,” ungkapnya. “Mereka mencari mudahnya padahal biasanya sumber yang
mereka kutip sudah tidak dipakai lagi karena sudah ada terbitan baru,”
tambahnya.
Salah
seorang mahasiswa yang sedang menyusun skripsinya, Mulfi mengatakan mengutip
skripsi yang sudah ada bukan berarti mencontek isinya tetapi hanya melihat
metode penelitian yang digunakan. “Bisa jadi penelitian hampir sama namun yang
membedakan adalah variabel pengamatan sehingga dapat menjadi literatur
penelitian,” ujarnya. Ia menilai jika ada mahasiswa yang secara penuh menjiplak
skripsi yang sudah ada artinya mahasiswa tersebut tidak kreatif. Lagipula
menurut mahasiswa Fakultas Pertanian ini dosen biasanya menguji literatur yang
ditulis, sehingga mahasiswa harus mempertanggungjawabkan literatur yang menjadi
bahan tulisannya.
Namun,
ia menjelaskan ada kemungkinan penyebab mahasiswa mengutip itu juga karena
persediaan buku atau literatur di perpustakaan universitas yang terbatas. “Buku
yang diperlukan biasanya sulit didapatkan di perpustakaan,” ungkapnya.
Rudi
kembali menuturkan judul skripsi tidak mengalami perkembangan. Masalah-masalah
yang diangkatpun kurang tersentuh masyarakat. ”Judul-judul skripsi di sini ya
begini-begini saja, tidak ada perkembangan,” katanya.
Menanggapi
persoalan ini, salah satu mahasiswa jurusan eksakta yang menolak disebutkan
namanya mengatakan kemungkinan hal tersebut bisa terjadi disebabkan mahasiswa
takut mengambil resiko dalam mencari ide-ide baru. “Karena dampak dari penelitian
yang dilakukan itu terlalu besar, ya.. jika gagal buang-buang uang saja,”
jawabnya.
Menyikapi hal
serupa, dosen Fakultas Pertanian Untan, Ir Abdul Hamid A. Yusra MS mengatakan,
”Sebaiknya masalah yang diangkat mahasiswa merupakan masalah masyarakat atau
pemerintah. Bisa juga ketajaman mahasiswa melihat sesuatu itu masalah walau
banyak orang umum melihat bukan masalah tapi sebenarnya itu masalah”.
Hamid mengatakan pemerintah
terkadang tidak tahu sumber dari masalah yang muncul di masyarakat, misalnya
inpres desa tertinggal yang tidak nampak hasilnya atau bantuan langsung ke masyarakat
yang tidak merata. Sebaiknya penelitian mahasiswa diarahkan ke dalam pemecahan
masalah di masyarakat. Dengan demikian dapat membantu pemerintah dalam
menanggulangi permasalahan yang timbul dalam kehidupan masyarakat.
“Misalnya dengan membiayai
penelitian lapangan mahasiswa seperti untuk transportasi, menyiapkan kebutuhan
penelitian contohnya pakan ternak, bibit
dan ongkos membersihkan lahan,” katanya. Dengan itu hubungan
pemerintah-masyarakat tetap berjalan dengan mahasiswa sebagai penghubungnya.
Jadi diungkapkannya tidak ada
lagi alasan pemerintah kekurangan tenaga ahli dalam menuntaskan masalah di
masyarakat sebab melalui mahasiswa yang melakukan Praktek Lapangan (PL),
pemerintah bisa terbantu mendapatkan informasi mengenai masalah yang terjadi. “Mahasiswa
yang turun ke lapangan 4-6 bulan, di sana dia menyelesaikan skripsinya. Pulang
dari lapangan, dia langsung bisa ujian skripsi. Masyarakatpun ikut terbina, termasuk
pemerintah juga terbantukan program kerjanya dan mahasiswa bisa ikut mengoreksi
apa yang seharusnya dikerjakan pemerintah,” jelasnya. []
0 komentar:
Posting Komentar