Pagi itu pukul 05.30 WIB tanggal 23 Juli 2006, rumput dan daun masih basah oleh embun. Saya harus cepat-cepat ke bandara karena harus mengejar penerbangan paling awal dengan tujuan Jakarta untuk mengikuti Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut 2006 yang diselenggarakan Forum Pers Mahasiswa Jabotabek (FPMJ). Jarak rumah dengan bandara cukup jauh, sekitar 32 km. Ayah memacu sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Karena jauhnya perjalanan, hampir saja saya tertinggal pesawat.
Dari Pontianak, saya berangkat bersama seorang gadis manis berambut ikal,
Ratna namanya. Kami berdua adalah utusan dari Lembaga Pers Mahasiswa Untan.
Waktu menunjukkan pukul 08.50 WIB, pesawat yang kami tumpangi mendarat. Sempat
was-was juga selama perjalanan, karena kecelakaan pesawat di Indonesia cukup
tinggi. Baru kali ini kami menginjakkan kaki di Ibu Kota negara ini, Jakarta. Kota
Metropolis yang kehidupannya sangat berbeda jauh dari kota kelahiran saya.
Kanan kiri hanya terlihat gedung pencakar langit, serta jalan raya yang
beraspal mulus. Tak terlihat lubang, apalagi kubangan lumpur seperti di
Pontianak.
Bingung dan sedikit pusing, “Mau naik apa lagi?”. Pada undangan, tempat
kegiatan tertera: Student Centre Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Matahari Jakarta benar-benar tak bersahabat, terik panasnya terasa lebih
panas dari kota Pontianak. Kami mencoba menghubungi panitia via SMS. Tidak lama
kemudian terdengar suara Hp berbunyi, tanda SMS masuk. “Gue tidak bisa menjemput,
kalian naik Damri aja jurusan ke Rawamangun dan turun di IKIP”.
Kami naik Damri yang cukup besar. Saya duduk di samping agar mudah
memandang keluar. Udara yang cukup sejuk dikarenakan hembusan AC dan lantunan lagu-lagu
daerah yang membuat saya merasa sedikit terhibur. “Pak supir turun di IKIP ya,”
kata saya dengan suara keras. Damri terhenti mendadak. “IKIP sudah lewat, kamu
turun di sini saja,” kata supir. Kami
tambah bingung dan sedikit takut.
Tapi dalam situasi seperti itu yang dibutuhkan adalah ketenangan. “Kita berteduh
dulu,” kata saya pada Ratna. Kami kembali menghubungi panitia dan menjelaskan posisi
kami sekarang. Panitia menyuruh untuk naik Metro Mini 47, kamipun langsung
mencari metro mini tersebut.
Capek, lelah terlihat di muka teman saya, keringat pun mulai bercucuran.
Namun, perjuangan belum berakhir. Akhirnya lewat juga Metro Mini 47. Tapi, kami
makin bingung karena kenek metro mini yang sebelumnya sudah kami katakan untuk berhenti
di IKIP ternyata membohongi kami dengan menurunkan kami di terminal ke
Rawamangun.
Dengan berdempet-dempet di dalam mobil, akhirnya sampai juga di IKIP. Lima menit
menunggu seorang panitia datang. “Dari Untan ya,” katanya. “Iya,” jawab saya. Kamipun
berjalan masuk menuju sekretariat Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di IKIP. Peserta
dari Riau sudah duluan datang, Made Ali dan Ridwan dari Bahana Mahasiswa Riau.
Waktu sudah menunjukkan pukul 15.30 WIB kami berangkat menuju Universitas
Islam Negeri (UIN) tempat acara pelatihan berlangsung. Gedung berlantai 12 ini
sangat bersih, ruangan tertata rapi dan ber-AC. Dalam hati saya bergumam,
“enaknya belajar di sini”. Tidak seperti kampus saya, ketika hujan air menetes
dari atap dan kepanasan ketika mengikuti pelajaran pada musim kemarau. Pelatihan
baru besok dimulai, kami segera ke asrama tempat peristirahatan. Sampai di
asrama, karena lelah dan capek, saya langsung merebah diri lalu terlelap.
Senin (24/06) pagi, jam sudah menunjukan pukul 07.00 WIB. Saya bergegas
mandi, lalu mengambil sarapan pagi yang sudah disiapkan untuk peserta. Agak
sedikit mengantuk karena tidur tadi malam tidak nyenyak. Saya dan teman berjalan
kaki menuju tempat pelatihan, kurang lebih tiga puluh menit.
Pembukaan pelatihan dimulai. Pelatihan pertama tentang “Mencari Arah Baru
Pers Mahasiswa”. Sebagai pembicara Abdul Manan dari majalah Tempo. Suasana jadi lebih tenang. Beberapa poin
penting disampaikan Abdul Manan dengan tenang. Sesekali mukanya menegang,
sesekali juga terlihat mengendur. Joke-joke kecil beberapa kali dilontarkannya.
Dia bercerita perkembangan tentang peranan pers mahasiswa di Indonesia sejak
masa revolusi sampai reformasi.
Harus diakui setelah reformasi perkembangan media sangat besar, ini
perkembangan yang tidak bisa dielakkan. Ledakan ini menimbulkan lahirnya
sejumlah media partisan. Media asal-asalan, juga melahirkan wartawan Bodrex sebutan wartawan yang mencari
berita hanya untuk mendapatkan uang.
“Masa transisi memang selalu melahirkan kegamangan, biasanya, periode itu
diwarnai carut-marutnya aturan dan situasi karena rezim lama yang sudah
kehilangan pamor, sementara rezim baru, masih menata diri,” kata Abdul Manan bersemangat.
Namun beberapa pers mahasiswa akhirnya menemukan jalan kembali dengan berorientasi
lagi pada basis awalnya yaitu kampus. Caranya, dengan menggarap isu-isu lokal
yang hampir pasti kurang mendapatkan tempat di pers umum. Inilah lahan besar
yang bisa dimainkan pers mahasiswa.
Waktu terus berputar, selanjutnya, mengusik kisah klasik: Format dan isi
penerbitan mahasiswa yang biasanya sarat kritik sosial. “Bagaimana menghidupkan
pers mahasiswa?” itulah pertanyaan klasiknya.
Ade Wahyudi dari dari kantor berita Radio 68H turut bicara. Pers mahasiswa
lahir dari suatu keinginan mengambil peran dalam proses perubahan sosial. Pada
beberapa catatan seringkali sejarah pers mahasiswa melulu disebut munculnya
pertama berbarengan dengan proses penumbangan orde lama, melalui
terbitan-terbitan pers mahasiswa yang ada di Jakarta, Bandung, Yogya, Makasar,
dan Padang.
Setelah demokrasi liberal tutup usia, digantikan masa demokrasi terpimpin (1959-1966),
pers mahasiswa memang tiarap (tutup). Mulai ada lagi ketika orde lama ditumbangkan
orde baru. Koran-koran mahasiswa mulai 1966 itupun mampu berebut pasar umum,
menyaingi pers “mapan”. Tetapi, era keemasan itu tak berlangsung lama. “Orde
baru merasa perlu memapakan kekuasannya, menggilas pers mulai mengontrol
pemerintahan. Satu persatu terbitan-terbitan mahasiswa tutup,” kata Ade.
Sejarah pers mahasiswa memang tak terpisah dari hiruk-pikuk kondisi sosial
politik, wajar jika pemahaman ini yang mapan di benak para pengelolanya.
Jurnalisme amat baik untuk mengontrol kekuasaan agar tak sewenang-wenang dengan
kebijakannya. Dan mahasiswa layak mengambil peran di sana. Namun, tak semua
mahasiswa berurusan dengan politik. Sehingga tak adil bila pengelola pers
mahasiswa memukul rata semua pembacanya sebagai pembaca politik.
Bagaimanapun, pers mahasiswa punya peran yang tidak ringan, peran pemasok
informasi, itupun masih ditambah sebagai motivator, peran sosialisasi, sosial
kontrol, peran sebagai wahana debat dan diskusi, edukasi (pendidikan).
Terakhir, tentang cara menyiasati untuk mendapat dana besar dari lembaga
yang perhatian pada penerbitan mahasiswa. Seperti institut arus informasi atau
LSM lainnya. “Tapi, kelanggengan semua media massa di tentukan dari kontribusi
pembacanya,” ungkap Ade Wahyudi.
Jum’at (28/06) pelatihan berakhir. Para peserta bersiap untuk pulang ke
daerahnya masing-masing. Sayapun langsung menghubungi tempat penjual tiket kapal.
Waktu terus berputar saat ini sudah menunjukkan pukul 18.00 WIB, saya pulang
ke IKIP bersama tiga anggota LPM lainnya. Saya tidak mau melewati malam ini
hanya dengan berada di asrama saja, karena malam ini malam terakhir saya di daerah
ini. Saya dan teman-teman menelusuri jalan. Penduduk kota ini sangat ramai,
mobil hilir mudik dari segala arah. Sudah jam 23.00 WIB jalanan masih padat
dengan ramainya kendaraan yang berlalu lalang.
Keesokan harinya, dengan diantar seorang teman saya berangkat menuju pelabuhan
Tanjung Periok. Keasyikan mengobrol, pintu untuk naik kapal pun terbuka. Saya
melambaikan tangan tanda perpisahan, tidak hanya pada teman saya tapi juga pada
daerah ini. Pukul 17.00 WIB kapal mulai bergeser dari pelabuhannya. Dan
berjalan meninggalkan daerah ini. Selamat tinggal Jakarta, semoga saya masih
diberi kesempatan untuk kembali ke kota ini.[]
Oleh : Heri Usman
Ketua Umum LPM Untan Periode 2006/2007
0 komentar:
Posting Komentar