Thank's For

PENDIDIKAN APA KABARMU?


“Saat ini sedang terjadi mall praktek atau flu burung pendidikan,” kata Dr. Aswandi, dosen FKIP Untan, dalam sebuah lokakarya pendidikan bertema “Demokratisasi Pendidikan Untuk Demokrasi Damai”, di Hotel Merpati, beberapa waktu lalu. Memang saat ini,  praktek penyelenggaraan pendidikan sedang menghadapi kritik dari para pakar. Tulisan ini adalah beberapa poin yang disampaikan Aswandi dalam lokakarya tersebut.

Mengutip beberapa tokoh seperti Martin Seligman, pendidikan sebagai proses pembodohan manusia, sedang terjadi proses ketidakberdayaan yang dipelajari. Sementara itu gerakan keluar dan menentang persekolahan dan lembaga pendidikan formal sebagai praktek ketidakbebasan, ketidakberdayaan,  dan candu bagi masyarakat sedang berkembang pesat di berbagai belahan dunia saat  ini. Ambil contoh tokoh seperti Paulo Freire, Ivan Illich, dan tokoh lain yang menganut paham ideologi pembebasan.
Pakar human neuropsychology, telah melakukan penelitian menegaskan bahwa pendidikan anak mendapat perhatian yang sangat besar seantero dunia sekarang ini, karena telah disadari bahwa awal pembentukan kapabilitas manusia sangat ditentukan oleh proses pendidikan anak sejak usia dini.
Tahun pertama bagi anak adalah suatu masa yang sangat baik baginya untuk membuat folder atau file dalam otaknya, informasi hanya akan masuk dan tersimpan kokoh dalam alam sadar dan bawah sadarnya apabila telah disediakan folder dan filenya.
Anak-anak membuat folder dan filenya dalam otaknya ketika otak anak dalam keadaan alfa atau otak dalam suasana nyaman, rileks, luwes, bebas, tidak tertekan, sebaliknya kegagalan anak dalam membuat folder dan filenya karena ia dalam suasana yang tidak nyaman, bisa jadi hak mengembangkan  dirinya telah dirampas oleh yang berada di sekitarnya terutama oleh kedua orangtuanya.
Penelitian neurology mengungkapkan bahwa 50% dari kapasitas otak seseorang berkembang dalam 5 atau 6 tahun pertama kehidupannya. Oleh karena itu usaha keras harus dikerahkan untuk mengubah tahun-tahun awal kehidupan seseorang anak menjadi pengalaman belajar dan pertumbuhan yang menyenangkan, terarah, bermakna, bukan sebaliknya pendidikan yang memberikan pengalaman belajar menakutkan atau melanggar hak asasi Si belajar.
Mengutip Bambang Indriyanto, Aswandi menjelaskan, bahwa sekitar 50% kapabilitas kecerdasan orang dewasa telah terjadi ketika anak berusia 4 tahun, 80% telah terjadi ketika berumur 8 tahun, dan menjadi titik  kulminasi ketika anak berusia sekitar 18 tahun.
Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu 14 tahun berikutnya dan selanjutnya perkembangan anak akan mengalami stagnasi. Namun apabila otak itu digunakan, maka ia tidak akan mengerus melainkan berjaringan satu sama lain.
Sebuah survey yang dilakukan oleh Rose dan Nicholl, memperlihatkan bahwa 82 persen anak yang masuk sekolah pada usia 5 atau 6 tahun (TK dan kelas 1 SD) memiliki citra diri positif tentang kemampuan belajar mereka sendiri seperti memiliki semangat dan motivasi belajar tinggi, tetapi angka tinggi tersebut menurun drastis menjadi hanya 18% ketika mereka berusia 16 tahun (siswa kelas III SLTP) konsekuensinya, 4 dari 5 atau 80% remaja dan orang dewasa memulai pengalaman belajarnya yang baru dengan perasaan yang tidak menyenangkan atau menyakitkan.
Sementara itu, MC Gregor mengatakan bahwa informasi yang diperoleh anak-anak usia dini selama dua tahun di lembaga pra sekolah jauh melebihi informasi yang diterima mahasiswa di lembaga pendidikan tinggi dalam suasana yang tidak menyenangkan atau stress.

Behaviouristik VS Konstruktivistik
Kini sedang terjadi pergeseran paradigma pendidikan dan pembelajaran, yakni dari behaviouristik ke konstruktivistik terutama pada dimensi belajar dan pembelajaran, tujuan pendidikan, penataan lingkungan pendidikan, strategi pendidikan dan evaluasi.
Dalam pembelajaran behaviouristik memiliki ciri: pertama, perguruan tinggi masih memandang bahwa pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap dan tidak berubah; kedua, belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah mentransfer pengetahuan ke orang yang sedang belajar; ketiga, peserta didik diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami pengajar itulah yang harus dipahami peserta didik; keempat, fungsi mind adalah menjiplak struktur  pengetahuan melalui proses berpikir yang dapat dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan.
Pengaruh aliran behaviouristik di atas berdampak sangat besar terhadap kecerdasan dalam menanggapi ilmu pengetahuan dan berimbas pula pada menurunnya kreatifitas peserta didik dalam mengekspresikan kemampuannya.
Bahkan akan memberikan kebingungan terhadap perguruan tinggi yang akan dipilih untuk mendapatkan masa depan yang cerah sedangkan sistem pembelajaran yang dihadapi semasa perkuliahan belum sesuai yang diharapkan.
Perkuliahan yang sarat dengan pendekatan behaviouristik di atas tidak dapat diharapkan membentuk atau melahirkan manusia pembelajar. Karena itu untuk menciptakan masyarakat pembelajar maka pendekatan ini perlu digeser ke paradigma pembelajaran konstruktivistik yang dicirikan hal-hal sebagai berikut: pertama, pengetahuan adalah non objektif, bersifat temporer, selalu berubah, tidak menentu; kedua, penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktifitas kolaboratif, dan reflektif, serta interpretasi; ketiga, peserta didik memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan, tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterpretasikannya; keempat, mind berfungsi sebagai alat untuk menginterpretasikan peristiwa, objek atau perspektif yang ada dalam dunia nyata sehingga makna yang dihasilkan bersifat unik dan individualistik.
Pembelajaran konstruktivistik menekankan pada belajar bagaimana belajar: menciptakan pemahaman baru,  yang menuntut kreatif produktif dalam konteks nyata, yang mendorong siswa untuk berpikir ulang serta mendemonstrasikannya.
Ciri pembelajaran konstruktivistik di atas telah memberikan penjelasan singkat bagaimana seharusnya sistem pembelajaran yang seharusnya diterima untuk membentuk manusia dan masyarakat pembelajar.
Pembelajaran konstruktivis berangkat dari pengakuan bahwa orang belajar harus bebas. Hanya di alam yang penuh dengan kebebasan inilah Si belajar dapat mengungkapkan makna yang berbeda dari hasil interpretasinya terhadap hal segala sesuatu yang ada di dunia nyata. Kegagalan atau keberhasilan, kemampuan atau ketidakmampuan dilihat sebagai interpretasi yang berbeda yang sangat dihargai.
Kebebasan dianggap sebagai penentu keberhasilan belajar, sementara siswa adalah subyek yang yang harus mampu menggunakan kebebasan untuk melakukan pengaturan diri dalam belajar. Kontrol belajar dipegang oleh si belajar itu sendiri.
Sudarto dalam kesempatan tersebut juga memberikan beberapa pemikirannya. Menurutnya lembaga pendidikan dalam hal ini sekolah/ madrasah merupakan prototype dari masyarakat yang majemuk sifatnya. Peserta didik berasal dari berbagai kalangan dan golongan yang berbeda-beda, baik dari asal muasal etnik, budaya, status sosial, kemampuan ekonomi, gender maupun keyakinan agamanya.
Pemahaman dan penghayatan yang baik atau perbedaan yang ada itu amat diperlukan oleh semua unsur yang ada dan terlibat dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah/madrasah itu dalam mewujudkan sebuah learning comunity yang demokratis.
Namun disayangkannya, bahwa demokratisasi pendidikan masih lebih banyak bersifat wacana, pembelajaran masih bersifat doktriner; penghargaan yang lebih kepada peserta didik yang pintar menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan gurunya daripada kepada peserta yang banyak bertanya; masih banyaknya upaya untuk memekarkan harga diri dan rasa percaya diri peserta didik; belum dapat dihilangkannya prasangka yang ada di antara kelompok-kelompok berbeda.[]

Oleh Heriyanto
Ketua Umum LPM Untan 2003/2004 

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan