Sejak 2007 lalu, Pontianak menjadi kota pertama
yang mengolah sampah dalam proyek CDM sesuai Protokol Kyoto. Ini juga bentuk
peran serta Kota Pontianak terhadap isu pemanasan global (global warming) di dunia. Selain dapat sertifikat dan mengurangi
panas bumi, proyek CDM juga sebagai community
development (pengembangan komunitas).
Proyek ini merupakan kali pertama di Indonesia.
Pada Juni 2007 lalu di Pontianak, sudah ditandatangani
Emissions Reductions Purchase Agreement
(ERPA) atau perjanjian pembelian pengurangan emisi gas antara Negara Belanda,
Bank Dunia dan PT Gikoko Kogyo. Belanda membeli 350.000 CER dari Pontianak
melalui Landfill Gas Flaring Project
di TPA Batulayang.
Walikota Pontianak Buchary A Rachman mengatakan
MoU antara Pemkot dan pihak Gikoko dalam pengelolaan gas metan disepakati
selama 20 tahun. “Dalam proyek CDM ini Pemkot tidak mengeluarkan dana sepeser
pun, pihak Gikoko dengan dananya sendiri dan Bank Dunia sebagai marketingnya.
Selanjutnya ini akan menghasilkan pendapatan, baik kepada pemerintah khususnya
tempat sampah itu sendiri,” ujarnya.
Februari ini proyek CDM sudah resmi menjadi proyek
dunia yang dipusatkan di Bonn. Buchary mengatakan dirinya pernah mengikuti
seminar internasional tentang carbon
trading di London dan menjadi satu-satunya wakil Indonesia.
Buchary menargetkan dari hasil penjualan selama 20
tahun akan menghasilkan US$ 4 juta yang akan dibentuk dalam community development program seperti
perbaikan TPA dengan menambah alat-alat berat dan penataannya dengan baik. Saat ini CER berharga US$ 6 per ton. “Saya kaget di sana (London-red)
carbon trading sudah menjadi pasar
dunia dan sudah ada bursanya,” kata Buchary.
Atasi Masalah
Sampah
Dari proyek ini pemerintah Kota Pontianak tidak
hanya mampu mengatasi persoalan sampah di Pontianak namun juga turut andil
dalam upaya mengurangi pemanasan Global.
Dedy Sukarna, Wakil PT Gikoko Kogyo Jakarta
mengatakan pengelolaan gas metan dilakukan dengan mengolah sel sampah tidak
aktif yakni yang sudah tertimbun di atas 2 tahun. Instalasi pipa pengumpulan
gas kemudian ditanam di dalam sampah, lalu ditutup tanah, plastik HDPE, ijuk
dan ditimbun kembali dengan tanah yang
tersambung dengan landfill gas flaring
system. Gas yang terdapat di dalam sampah pun disedot dan direduksi.
“Sel
tersebut kemudian ditata ulang barulah disedot gas metannya untuk direduksi,” tambah
Medi Novianto, Civil Engeenering PT Gikoko. Saat ini sudah 1,8 Ha lahan TPA
Batulayang yang dipakai Pihak Gikoko dari 19 Ha lahan yang tertimbun sampah.
“Setelah 5 sampai 7 tahun sampah yang telah disedot metannya baru dibuka dan
bisa dijadikan kompos,” lanjutnya lagi.
Gas tersebut merupakan gas metan (CH4) yang
terkandung di dalam sampah dan mengakibatkan suhu di bumi meningkat. Metana
sendiri merupakan satu dari enam gas rumah kaca yaitu karbondioksida,
nitrus oksida, sulfur heksafluorida, kloroflurokarbon/CFC, dan perfluorokarbon/PFC yang memiliki daya rusak 21
kali lipat dari karbondioksida (CO2). Pengelolaan metan kini menjadi proyek Clean Development Mechanism (CDM) antara
Pemerintah Kota Pontianak dengan PT Gikoko Kogyo Indonesia.
Setiap pembakaran gas metan menghasilkan CER (Certificate
Emission Reduction) yang dibeli negara maju sebagai komitmennya atas
kesepakatan Protokol Kyoto. Berdasarkan protokol yang bernama resmi Kyoto Protocol to the
United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto dalam Persidangan Rangka Kerja PBB tentang Perubahan
Iklim), negara maju berkewajiban
mengurangi emisi gas rumah kaca yang telah menyebabkan pemanasan global dan
perubahan iklim dan dapat dilakukan di negara sendiri atau di negara lain
melalui mekanisme CDM.
Dampak dari pemanasan global itu pun sudah dirasakan
saat ini. Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalbar Hendi Chandra
mengatakan penyakit demam berdarah yang diakibatkan nyamuk Aides Aigepty itu
salah satu penyebabnya. Hutan yang menjadi tempat berkembangnya nyamuk tersebut
kini sudah banyak ditebang sehingga mereka lari ke daerah pemukiman. “Akibatnya
adalah nyamuk-nyamuk itu menggigit manusia sebagai makanan mereka,” ujarnya.
Dampak lainnya adalah perubahan iklim yang sudah terjadi saat ini. Yang paling
merasakannya lanjut Hendi adalah warga yang bertani di kampung-kampung. “Waktu
yang seharusnya mereka bisa menanam malah tiba-tiba berubah menjadi kering, ini
sangat merugikan mereka tentunya,” katanya lagi.
Sebagian besar ketetapan Protokol Kyoto itu
sendiri diberlakukan bagi negara-negara maju (Negara Annex I) karena paling
banyak membebaskan gas-gas rumah kaca. Hingga Februari
2005, sudah 141 negara menyepakati dan menggunakan Protokol Kyoto termasuk Kanada, China, India, Jepang, New Zealand,
Rusia
dan 25 negara anggota Kesatuan Eropa, serta Rumania
dan Bulgaria.
Namun ada 2 negara yang telah menandatangani tetapi tidak melaksanakan hasil
Protokol tersebut yaitu Monaco dan Amerika Serikat yang merupakan negara
pengeluar terbesar gas rumah kaca. Sementara 3 negara lain yakni Kroasia,
Kazakhstan dan Zambia belum menyatakan persetujuannya.
Ke depannya hasil pereduksian gas metan tersebut akan dibuat pembangkit
listrik tenaga kecil. Lebih lanjut dikatakan Medi Novianto karena sifatnya yang
sama dengan biogas dapat juga digunakan untuk memasak. “Untuk hal ini mungkin
dilakukan studi kelayakan terlebih dahulu,” katanya. Selain itu bisa juga
dilakukan kerjasama dengan Dinas PU untuk membantu membakar aspal. Setelah ini
kota-kota lain seperti Bekasi, Makassar akan melakukan proyek yang sama merujuk
pada TPA Batulayang.
0 komentar:
Posting Komentar