Oleh: Leo Sutrisno
Debat calon Rektor Untan yang terungkap di media
massa, sejauh ini masih pada tataran di depan pintu. Perdebatan berkisar pada
tata cara pemilihan: langsung, setengah langsung, atau dipilih oleh senat
universitas. Argumentasi yang menguatkan pilihan adalah ada atau tidak adanya
palung hukum. Selain itu, juga muncul masalah ”klasik”, yaitu Doktor atau
bukan. Materi semacam ini, sesungguhnya masih di luar pintu. Ada baiknya jika
ingin Untan berkembang, maka debat dibawa ke wilayah yang lebih dalam, yaitu
kualifikasi rektor sebagai
seorang pemimpin. Sekali lagi rektor bukan hanya
sebagai manager saja tetapi juga sebagai pemimpin.
Sebuah Universitas mempunyai tugas menyebarkan
ilmu pengetahuan, mengembangkan ilmu pengetahuan, menyediakan jasa konsultasi
ilmiah, dan melakukan preservasi ilmu pengetahuan. Karena salah satu sifat ilmu
pengetahuan adalah universal, maka global menjadi salah satu dimensi dalam
pengembangan universitas. Sementara itu, salah satu unsur kunci dari
pengembangan universitas adalah pimpinan tertinggi (rektor). Dan yang dibutuhkan universitas di era global adalah
rektor yang transformatif.
Rektor yang transformatif paling tidak harus memiliki enam aspek, yaitu
visi, komunikasi, hubungan personal, kebersamaan, bimbingan dan karakter
pribadi.
Visi
Rektor yang transformatif akan memiliki visi yang
tidak hanya visi diri sendiri, tetapi visi
bersama, sesuatu yang didambakan dan diimpikan setiap warga. Rektor yang
transformatif mampu mengangkat visi bersama ke tingkat tataran moral. Sehingga,
setiap warga berpendapat bahwa mewujudkan visi merupakan suatu keharusan, suatu
kewajiban, dan suatu kebutuhan bersama. Jika visi telah mencapai tataran sosial
maka visi akan menjadi sumber energi, suatu pencerahan tentang makna kerja bagi
setiap warga. Visi akan menjadi sumber motivasi untuk bekerja ekstra. Selain
itu, dalam tataran moral visi juga akan mempersatukan semua warga dan bahkan
akan menumbuhkan perasaan sebagai anggota suatu komunitas, suatu kebersamaan.
Komunikasi
Salah satu pilar yang mendukung visi bersama adalah
komunikasi. Seorang rektor yang transformatif memiliki keterampilan
berkomunikasi, termasuk diam-mendengarkan. Rektor yang transformatif dapat
mendengarkan dengan sepenuh hati tentang persepsi, pendapat, kebutuhan dan
perhatian semua warga. Karena itu, rektor memberikan pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat ”menggali”, mengumpan dan terbuka dalam menerima umpan baliknya,
sekaligus juga reflektif untuk memperdalam pemahamannya
Rektor yang transformatif mengkomunikasikan visi
bersama dan mengartikulasikannya tanpa henti kepada semua warga dengan berbagai
cara, misalnya dengan metafora, analogi, ilustrasi, anekdot, kisah sukses.
Misalnya komunikasi yang bersifat dua arah, dialog, agar mencapai makna
bersama. Sehingga, visi akan menjadi suatu normal atau tata nilai bagi semua
warga yang bersifat ’magis’.
Hubungan personal
Pilar kedua yang menunjang visi bersama adalah
hubungan personal. Keterampilan mengembangkan hubungan personal mencerminkan
perilaku rektor yang transformatif. Suatu jejaring hubungan personal yang bagus
memberi kesempatan rektor mengkomunikasikan dan ’memasukkan’ visi bersama itu
ke dalam sanubari setiap warga. Hubungan personal juga tampak: informal,
kolaboratif, interaktif, ramah dan bahkan menembus batas. Rektor yang
transformatif memperlakukan bawahan sebagai teman sejawat dalam bekerja. Ia
memberi dorongan, ia memberi saran, ia juga membantu setiap warga. Ia membangun
kepercayaannya lewat tindakannya.
Kebersamaan
Pilar ketiga yang menopang visi bersama adalah
kebersamaan. Kebersamaan terbentuk jika setiap warga mempunyai ’sense
of belongging’ rasa memiliki. Rasa memiliki ini membantu proses
internalisasi visi bersama. Rektor yang transformatif menunjukkan dengan jelas tentang
nilai-nilai yang dijunjungnya secara pribadi dan menjamin bahwa prilakunya juga
konsisten dengan niali-nilai yang dipegangnya
Bimbingan
Bimbingan merupakan pilar keempat yang menyangga
visi bersama. Rektor yang transformatif tidak hanya berkata: ’There
it is... go for it”, sementara ia sendiri berdiri hanya di tepi jalan.
Ia berbuat dan bertindak. Dengan cara ini, ia memberikan bimbingan kepada
bawahan dengan tepat dan rinci. Ia sendiri mengalami, ia sendiri melaksanakan.
Ia akan belajar sepanjang hayat. Ia bersama bawahannya menjadi anggota
masyarakat pembelajar, learning community. Rektor yang transformatif
menunjukkan bagaimana mengkalkulasi dan menerima resiko-resiko suatu pilihan
dengan masuk akal. Ia sadar bahwa untuk mencapai puncak ia harus berjalan
bersama, bertindak bersama seluruh warga.
Namun di era global, mutu dan standar yang tinggi
tidak boleh dilupakan. Visi bersama yang sudah bernilai magis diarahkan untuk
mencapai mutu dan standar yang excellence, yang ”high
distinction,” tidak sekedar rata-rata- average.
Karakter pribadi
Rektor yang transformatif haruslah memiliki
kepercayaan diri. Tetapi ia meninggalkan egonya lebih dahulu di pintu. Artinya
rektor yang transformatif memiliki rasa percaya diri yang rendah hati- humble
self- confidence. Selain itu rektor yang transformatif juga self-understanding
dan self-disciplined.
Ia memang memerlukan power tetapi untuk empowering yang lain. Ia menganggap
dan juga dianggap sebagai seorang pemimpin
pelayan. Sudah tentu ia juga harus pandai bersyukur bahkan sangat pandai high
distinction, excellence. Rektor yang transformatif tidak bersifat dyadic power tetapi bersifat social power. Artinya, ketika
memperolehnya, ia tidak mengandalkan pada hasil adu otot tetapi karena yang
lain dengan ikhlas mengakui bahwa ia mempunyai kemampuan yang melebihi yang
lainnya, dan yang lainnya dengan rela bersedia untuk dipimpinnya.
0 komentar:
Posting Komentar