Oleh: Dr.Fariastuti
Infrastruktur
dan pembangunan ekonomi merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Salah satu
investasi dalam pembangunan ekonomi adalah di bidang infrastruktur. Sementara
infrastruktur yang dibangun secara tepat dan berfungsi optimal dapat
mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan pembangunan ekonomi.
Infrastruktur
di Indonesia umumnya dan di Kalimantan Barat (Kalbar) khususnya sering
dikeluhkan oleh pelaku ekonomi atau investor baik dalam maupun luar negeri.
Menurut catatan Bank Dunia (2005), masih banyak terdapat permasalahan pada
infrastruktur di Indonesia, yang mencakup air bersih dan sanitasi,
telekomunikasi, listrik dan jalan
. Permasalahan tersebut antara lain
aksessibilitas dan dana investasi yang terbatas.
Infrastruktur
merupakan primadona anggaran karena menempati porsi terbesar anggaran yaitu
sekitar 35 persen pada APBD 2005 dan 47 persen pada RAPBD 2006. Meningkatnya
proporsi anggaran infrastruktur dari 2005 ke 2006 juga disertai peningkatan
jumlah anggaran secara absolut yaitu sekitar 135 persen. Peningkatan anggaran
tersebut merupakan yang terbesar atau lebih dari dua kali lipat dibandingkan
peningkatan anggaran di bidang ekonomi (65 persen) yang peningkatannya
merupakan terbesar ke dua setelah infrastruktur (Tabel 1).
Tabel 1
Anggaran dan Rencana Anggaran Belanja
Operasi Pemeliharaan (OP) dan Modal Berdasarkan Bidang Pembangunan,
2005-2006
|
%
terhadap total APBD
2005
|
%
terhadap total RAPBD 2006
|
RAPBD
2006 (Rupiah)
|
Peningkatan
dibanding 2005 (%)
|
Sosial budaya
|
20
|
16
|
65.925.000.000
|
43,24
|
Ekonomi
|
16
|
15
|
59.386.000.000
|
64,74
|
Infrastruktur
|
35
|
47
|
186.272.000.000
|
135,19
|
Pemerintahan
lainnya
|
29
|
22
|
88.417.000.000
|
37,31
|
Jumlah
|
100
|
100
|
400.000.000.000
|
77,25
|
Sumber: Pemerintah Provinsi
KalBar, 2005
Sejauh
mana optimalisasi sumbangan infrastruktur terhadap pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi Kalbar patut dipertanyakan. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Kalbar tahun
2001-2004 (3,77 persen) masih dibawah pertumbuhan ekonomi nasional (5,13
persen). Pertumbuhan ekonomi Kalbar meningkat dari 2,69 persen tahun 2001
menjadi 4,79 persen tahun 2004 (Bappeda, 2005). Dampak dari investasi
infrastruktur tahun tertentu terhadap pertumbuhan ekonomi tahun yang sama
memang belum optimal, namun tidak untuk tahun-tahun selanjutnya. Meningkatnya
anggaran infrastruktur yang lebih dari dua kali lipat seharusnya mampu
menciptakan pertumbuhan ekonomi Kalbar lebih tinggi dari tahun-tahun
sebelumnya.
Walaupun
secara agregate investasi infrastruktur dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi secara optimal, pada tingkat mikro hal ini tidak otomatis terjadi.
Tidak semua masyarakat akses terhadap investasi infrastruktur dan memperoleh
dampak dari investasi tersebut langsung maupun tidak langsung. Efek menetes ke
bawah (tricke down effect) dari infrastruktur berupa penciptaan kegiatan
ekonomi yang mengikutinya tidak terjadi dengan sendirinya. Kondisi dana yang
terbatas menuntut adanya skala prioritas dalam hal wilayah mana dan siapa saja
yang memperoleh dampak investasi infrastruktur.
Sebagai contoh, selama
ini pembangunan jalan cenderung pada jalur yang menghubungkan antar ibukota kota/kabupaten.
Hal ini memang diperlukan terutama dalam kondisi ketergantungan antar wilayah
sangat tinggi. Misalnya, jika jalan darat Pontianak-Putussibau rusak berat,
dapat dipastikan harga kebutuhan pokok di Putussibau yang didatangkan dari
Pontianak akan bertambah mahal. Harga kebutuhan pokok tersebut akan semakin
mahal untuk wilayah lain di Kapuas Hulu yang menggantungkan pasokan kebutuhan
pokok dari Putussibau. Kondisi jalan yang ada pun bukannya tanpa masalah. Jalan
antara Sintang dan Putussibau misalnya masih belum memadai sementara jalan di
Kabupaten Bengkayang terutama antara Sanggau Ledo dan Serikin rusak berat.
Dalam menentukan skala
prioritas, trade off (memilih satu dari dua pilihan) perlu diperhatikan
karena demi mengejar pertumbuhan ekonomi, pihak dengan posisi tawar yang lemah
seringkali diabaikan. Pertumbuhan ekonomi memang perlu dikejar, namun apalah
artinya pembangunan jika pertumbuhan yang terus dikejar tersebut hanya
dinikmati oleh sebagian kecil orang, sementara masih banyak orang hidup dalam
kemiskinan dan tidak tersentuh oleh dampak investasi infrastruktur tersebut.
Berapa lama petani harus
mengalami kesulitan dalam memasarkan produknya jika jalan antara pasar dan
lahan pertanian sangat tidak memadai? Masyarakat di desa yang tidak pernah
mengunjungi ibukota kecamatan karena transportasi yang sulit dan mahal bukan
cerita langka. Bantuan pemerintah untuk rakyat miskin seperti biaya gratis
sekolah, terutama sekolah menengah, dan kesehatan juga tidak menyentuh
masyarakat di daerah terpencil dengan transportasi yang sulit dan mahal. Mereka
lebih memilih berobat ke mantri desa walaupun harus membayar karena biayanya
lebih murah daripada biaya transport, konsumsi dan akomodasi yang harus
dikeluarkan untuk memperoleh pengobatan gratis di puskesmas yang terletak di
ibukota kecamatan. Untuk pendidikan, tidak jarang pilihannya adalah tidak
melanjutkan ke sekolah menengah karena untuk bersekolah anak-anak harus hidup
terpisah dari orangtua di desa sementara biaya hidup di ibukota kecamatan cukup
tinggi.
Pada akhirnya
infrastruktur hanya merupakan syarat perlu (necessary condition) dan
bukan syarat cukup (sufficient condition) untuk pembangunan
ekonomi. Walaupun infrastruktur sudah
memadai, investor dari luar daerah/negeri belum tentu datang ke Kalbar jika
daerah ini dianggap tidak aman dan masih banyak pungutan siluman. Lebih parah
lagi jika kondisi tersebut juga menyebabkan investor dari Kalbar lebih tertarik
menanamkan modalnya ke luar daerah/negeri daripada ke Kalbar sendiri. Pelaku
ekonomi lemah yang tidak lagi menghadapi kesulitan dalam membawa produknya ke
pasar bukan berarti terlepas dari masalah. Skala usaha kecil membuat biaya
produksi tidak efisien sehingga harga produk pengusaha lemah lebih mahal dari
harga produk pengusaha besar. Pengusaha bermodal kecil dengan posisi tawar yang
lemah seringkali juga harus menghadapi pasar persaingan tidak sehat yang tidak
menguntungkan bagi mereka.
Diperlukan banyak
kebijakan lain sehingga investasi infrastruktur berdampak optimal kepada
masyarakat terutama penduduk miskin di desa terpencil yang sampai saat ini
masih ada yang belum dapat melihat perbedaan apakah Indonesia sekarang sudah merdeka
atau belum, apakah pemerintah daerah sekarang
sudah otonom atau belum atau apakah hidup pada masa pemerintahan SBY
lebih baik dari masa pemerintahan Soeharto. Penduduk miskin lainnya di
perkotaan memang menikmati jalan-jalan mulus namun kemampuan mereka untuk
memanfaatkan infrastruktur yang lain seperti sanitasi, listrik, air bersih
masih sangat terbatas. Keberadaan mereka di perkotaan semakin mempertegas
adanya kesenjangan ekonomi antar kelompok masyarakat.
Daftar bacaan:
Bappeda, 2005. Kondisi perekonomian KalBar
sampai tahun 2004 dan kondisi yang
diharapkan tahun 2006. Pontianak
Pemerintah Provinsi KalBar, 2005
Nota Keuangan. Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja
Daerah Provinsi Kalimantan Barat,
Pontianak.
World Bank, 2005. Indonesia: New Directions, World Bank
Brief for the Concultative
Group on Indonesia,
Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar