Thank's For

REFORMASI JALAN KAPITALIS, REVOLUSI JALAN SOSIALIS


REFORMASI JALAN KAPITALIS,
REVOLUSI JALAN SOSIALIS



Judul buku   : Sosialisme dan Revolusi
Penulis          : Andre Gorz
Penerbit        : Resist Book
Cetakan         : Pertama, November 2005
Tebal buku    : 310 halaman, i-ii, 12 cm x 19 cm
Presensi         : Syf. Ratih Komala Dewi

            ANDRE Gorz dalam bukunya “Sosialisme dan Revolusi” menganggap kita telah begitu terbiasa selama jangka waktu yang lama menerima demokrasi hanya dalam bentuk luarnya dan hanya dilembagakan dalam bentuk parlemen. Kita pun sering kali tak sadar bahwa telah terjadi kemerosotan dalam demokrasi kita. Institusi-institusi parlementer merosot menjadi institusi-institusi yang remeh atau sekedar berfungsi sebagai pajangan.
Dalam hal ini, Andre Gorz membahas demokrasi perwakilan dimana setiap upaya yang sungguh-sungguh untuk membangun kembali demokrasi harus diawali dengan kesadaran bahwa demokrasi perwakilan selalu dan akan selalu tak lebih dari pemuja dan mitos dari paham pemerintahan oleh rakyat. 

Secara garis besar, kita bisa melihat keterbatasan demokrasi perwakilan dengan mencatat hal-hal yang menuntut pemikiran kapitalis tak boleh dilakukan oleh proses pengambilan kebijakan yang demokratis. Dalam proses pengambilan yang demokratis tidak boleh membuat atau mengarahkan proses produksi industri selaras dengan kebutuhan-kebutuhan massa. Proses demokrasi tersebut juga tak boleh menetapkan pembagian kerja yang bersifat teknis dan sosial atau menentukan kebijakan-kebijakan investasi dari kapitalis-kapitalis monopoli swasta ataupun negara, atau menentukan penggunaan surplus ekonomi. Jadi, apa yang boleh dilakukan oleh proses demokratis tersebut? Hanya hal-hal yang berada di wilayah kebebasan individual dan sosial.
Terdapat sejumlah ahli teori Kapitalisme yang bersepaham dengan pandangan Seymour Martin Lipset bahwa mungkin memang demokrasi ala kapitalis itulah jalan yang terbaik. Mereka memandang bahwa partisipasi massa dan pengelola masyarakat secara sosial merupakan sesuatu yang sebaiknya tak ada.
Penulis telah menunjukkan bahwa meningkatnya biaya dan waktu untuk menghasilkan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh proses produksi kapitalis telah menyebabkan terjadinya krisis dalam sistem pendidikan borjuis yang mendasarkan dirinya pada bias sosial dan pada pembiayaan secara privat.
            Berbeda dengan paradigma sosialis, kaum sosialis melihat fenomena yang terjadi adalah pada problem  strategi sosialis ialah bagaimana menciptakan kondisi-kondisi, baik yang bersifat obyektif maupun subyektif, yang memungkinkan bergeraknya aksi revolusioner massa dan yang memaksa kaum borjuis untuk bertarung dan pada akhirnya kalah dalam uji kekuatan itu.
Penulis beranggapan pembaca tak sepakat dan mungkin muncul anggapan bahwa sosialisme tidak dengan sendirinya akan bisa membebaskan dan memajukan umat manusia. Namun, jika melihat dan merasakan kapitalisme saat ini seperti halnya yang dirasakan dan dilihat oleh para buruh yang bekerja dengan tangan atau pikiran mereka, akan muncul rasa kegelisahan bahwa kapitalisme saat ini lebih tak bisa ditolerir ketimbang kapitalisme dimasa lalu. Kapitalisme disini bisa dipahami sebagai pembangunan ekonomi dan sosial ataupun sebagai jalan hidup dan cara berelasinya manusia-manusia yang satu dengan manusia-manusia yang lain, dengan pekerjaan mereka, dengan lingkungan mereka dan dengan masyarakat-masyarakat di belahan dunia lain.
Kegelisahan yang sama juga akan muncul jika pembaca melihat dan merasakan cara bagaimana kapitalisme dalam mengelola sumber teknologi dan sains dan potensi kemampuan kreatif individu. Dengan kata lain, kekuatan untuk menjalankan sebuah kebijakan reformasi yang sejati tidak akan bisa dicapai melalui parlemen, namun hanya melalui kesanggupan untuk memobilisasi kelas buruh melawan kebijakan yang telah ada.
Kaum sosialis menolak strategi gerakan reformasi, mereka menganggap  stretegi tersebut tak akan bisa dijalankan oleh sebuah aliansi kekuatan rakyat, karena   pemimpin teras kelompok-kelompok neo-kapitalis  akan terbagun sistem kapitalis baru. Sehingga kaum sosialis menolak sistem itu. Kaum sosialis melihat strategi gerakan revolusioner mempunyai cita-cita yaitu menggulingkan  sitem kapitalis.
Tetapi disini penulis menyarankan, kita tak boleh menolak reformasi-reformasi yang bersifat antara (yaitu reformasi-reformasi yang secara langsung menghabisi logika kapitalisme), namun kita harus menetapkan syarat tegas bahwa reformasi-reformasi yang bersifat antara itu dianggap sebagai sebuah sarana dan bukan tujuan, sebagai fase-fase dinamis dari sebuah perjuangan progresif dan bukan sebagai tempat berhenti. Singkatnya, sebuah strategi reformasi yang sosialis haruslah ditujukan untuk meruntuhkan sistem dan memanfaatkan keruntuhan itu untuk menggerakkan proses transisi revolusioner menuju sosialisme yang seperti kita ketahui hanya bisa dicapai dengan menempa besi saat masih panas.
Dalam kondisi-kondisi yang ada saat ini, kelas buruh akan bisa mencapai tingkat kematangan dan kekuatan politiknya yang dibutuhkan untuk mengatasi semakin meningkatnya resistensi sistem kapitalis hanya jika isi maupun cara menyuarakan tuntutan-tuntutannya merepresentasikan sebuah kritik yang vital terhadap peradaban kapitalisme, terhadap struktur sosial, sistem produksi dan seluruh landasan hidup-nya.
Yang dibutuhkan sekarang ialah persiapan, aksi dan kesadaran uang lebih tinggi jika ingin perjuangan revolusioner itu terus dilanjutkan. Perbaikan secara mutlak dan menyeluruh tentu saja tidak berarti menjanjikan sebuah surga yang akan segera terwujud dimana tatanan masyarakat sosialis akan dengan segera tercapai.
Perbaikan yang hendak dicapai oleh gerakan sosialis ialah pembebasan semua subjek yang tereksploitasi oleh sistem kapitalis, yang tertindas, terdegradasi dan termandulkan dalam dimensi yang membentuk nilai sosial dan rasa kehormatan dirinya sebagai individu yaitu pekerjaannya sebagai anggota dari sebuah masyarakat.
Terdapat penekanan dari Maxisme terhadap implikasi-implikasi ideologi dari keputusan-keputusan teknis mengenai hal ini yang tak bisa kita abaikan begitu saja. Pengadopsian pola konsumsi ”barat” oleh para pemimpin sosialis sebagai bahan rujukan bukanlah sebuah pilihan yang tidak dahsyat implikasinya (apalagi dengan diadopsinya teknik-teknik produksi Amerika seperti yang kita lihat).
Pola konsumsi ”barat’ itu sendiri telah sedemikian sering dan dengan tepat, dikritik oleh kaum Marxis Barat, sehingga slogan yang diproklamirkan oleh Kruschev pada tahun 1956 tentang ”pengambilalihan” (overtaking) Amerika Serikat lebih terlihat sebagai sebuah penyimpangan yang serius dari cita-cita sosialisme.
Penulis kira penting bagi kita untuk menitikberatkan pada fakta bahwa garis pemisah antara negara maju dan terbelakang, antara kekuatan ekonomi yang mendominasi dan yang didominasi, dan antar penjajah dan terjajah, bukanlah antar bangsa, namun juga dalam setiap bangsa di negeri-negeri kapitalis itu sendiri.
Andre Gorz juga menyarankan, bahwa pembangunan itu harus bersifat autarkis, namun bahwa pembangunan haruslah bersifat otonom dalam artian yang tepat. Otonomi ini sama sekali tidak berarti penggunaan teknik-teknik asing, atau bahkan penerimaan pinjaman atau pemberian asing ataupun penggunaan investasi asing tidak diperbolehkan. Pembangunan yang otonom memiliki arti bahwa rangsangan bagi pertumbuhan harus berasal dari dalam masyarakat itu sendiri dan harus didasarkan pada penggunaan secara penuh sumber-sumber daya material dan manusianya sendiri.
 Pembangunan yang otonom juga tidak berarti bahwa sebuah masyarakat yang sedang membangun harus melewati seluruh tahap-tahap historis dan teknis sebagaimana telah terjadi di masa lalu saat berlangsung proses transformasi ekonomi mayarakat tersebut dari yang bersifat agraris menuju ekonomi yang industrialis dengan mengandalkan mesin-mesin dan otomatisasi.
Pada akhir tulisan dari buku ini, penulis beranggapan rasa nasionalisme itu mungkin bernilai positif, memiliki semangat kemajuan dan sah secara kultural. Namun, nasionalisme tidak memadai untuk bertempur melawan imprialisme dalam medan ekonomi dan politik. Justru sebaliknya, nasionalisme akan memungkinkan imprealisme untuk mengadu domba satu negara yang sama-sama lemah dan tertindasnya, dan untuk mencitakan negara-negara penindas yang akan mendominasi negara-negara tetangganya demi keuntungan imperialisme dan yang meraih kembali kebanggaannya yang runtuh dihadapan negara imprealis yang kuat dengan jalan menaklukkan negara yang lemah. (*)

Peresensi adalah Mahasiswi Ekonomi angkatan 2003

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan