Thank's For

Sejarah Sosial Media_Resensi LPM Universitas Tanjungpura


Judul buku      : Sejarah Sosial Media
Penulis             : Asa Brisggs dan Peter Burke
Penerjemah      : A. Rahman Zainudin.
Penerbit           : yayasan Obor Indonesia
Tebal               : 456 Halaman
Presensi           : Heri Usman

Buku ini menyoroti peradaban barat modern, mulai dari akhir abad ke-15 hingga milenium ketiga ini. Penulis buku ini berpendapat bahwa, adalah penting orang yang bergumul dalam studi ilmu komunikasi dan budaya yang jumlahnya akan terus bertambah untuk memperlakukan sejarah dengan serius, sebagaimana para pakar sejarah terlepas dari periode dan bidang spesialisasi mereka, memperlakukan komunikasi dengan serius pula.

Baru pada tahun 1920-an menurut the Oxfod English Dictionary orang mulai bicara tentang ‘media massa’, dan suatu generasi kemudian, pada tahun 1950-an, orang mulai bicara tentang ‘revolusi komunikasi’, namun perhatian terhadap sarana-sarana komunikasi jauh lebih tua dari pada itu. Retorika, yaitu studi tentang seni berkomunikasi secara lisan dan tulisan, sudah mendapat tempat yang sangat terhormat di masa yunani dan romawi kuno. Retorika juga dipelajari di abad pertengahan, dan dengan semangat yang lebih besar lagi di zaman renaissance.

Ruang lingkup buku ini luas sekali, menelusuri sejarah beragam alat komunikasi di barat, mulai dari dari ditemukannya percetakan, telpon, telegraf, gramofon, radio, film, TV, sampai pada internet. Ia membicarakan setiap unsur yang merupakan unsur pokok dari apa yang terkenal sebagai ‘media’ dam mendiskusikan, anatara lain, tetap pentingnya komunikasi lisan dan manuskrip, setelah timbulnya percetakan, dan hubungan antara transportasi fisik dan komunikasi sosial, serta perkembangan media elektronik, yang bermuara pada teknologi komunikasi digital, internet, dan gejala globalisasi.
Buku ini berpendapat bahwa, di manapun juga titik berangkatnya, adalah penting bagi orang yang bergumul dalam studi-studi ilmu komunikasi dan budaya yang jumlahnya masih akan terberkembang untuk memperlakukan sejarah dengan serius, sebagaimana para sejarah terlepas dari periode dan bidang kesibukan mereka memperlakukan komunikasi dengan serius pula.

Maka buku ini, memusatkan perhatian pada perubahan-perubahan dalam media. Dalam segala perubahan ini, akan diupayakan untuk menghindari dua bahaya, yaitu bahaya menekankan bahwa segala sesuatu telah menjadi lebih buruk atau menganggap bahwa telah terjadi perbaikan yang terus-menerus. Implikasi bahwa trend-trend telah bergerak menuju satu arah saja harus ditolak, miskipun para penulis yang mempercayainya seringkali fasih sekali dan menonjol sekali dalam bidang mereka. Demikian pula tentang internet dan potensinya sebagai agen ‘demokratisasi’ tak mukin pada tahap ini dalam sejahrahnya ‘dari bawah’ dalam jangka panjang ia akan menunaikan peran itu. Beberapa kritikus justru merasa takut bahwa internet akan menggerogoti segala bentuk ‘kekuasaan’ memberi dampak negatif terhadap perilaku, serta membahayakan keamanan pribadi dan kolektif. Memang benar sekali, sejumlah spesialis dalam studi media telah memusatkan perhatian pada apa yang mereka namakan ‘perdebatan media’. Perdebatan ini meliputi baik masalah-masalah yang hangat dan proses-proses berjangka panjang.

Buku ini menyoroti sejarah peradaban barat modern, mulai dari akhir abad ke-15 dan seterusnya. Narasinya mulai dengan percetakan kira-kira tahun 1450 masehi, dengan alfabet kira-kira tahun 2000 dengan tulisan kira-kira tahun 5000, atau dengan pembicaraan, namun terlepas dari kepentingan yang sering dikaitkan dengan Johann Gutenburg kira-kira tahun 1400-1468, yang dipilih oleh para pembaca salah satu surat kabar Inggris sebagai ‘man of the millenium’ tidak ada titik tol dimana kisah itu mulai, dan terkadang merupakan suatu keharusan untuk merujuk kembali secara ringkas ke dunia zaman kuno dan dunia abad pertengahan. Di masa-masa itu, komunikasi tidaklah langsung, tetapi telah mencapai segala sudut dunia yang dikenal.

Dalam buku ini, Innis tekankan pidato lebih daripada alfabet, adalah suatu refleksi dari kekuatan kata yang diucapkan. Dalam hal ini, sebagaimana juga dalam budaya lisan yang lain, nyanyian dan kisah-kisah dalam bentuk yang bergelombang dan bukan dalam bentuk yang sudah tetap.

Dalam karya Parry, yang dikembangkan oleh mantan pembatunya Albert Lort dalam The Singer Of Tales (1960), maka Yugoslavia, dengan analogi Yunaninya Homer, mengagambarkan aspek-aspek positif dari budaya lisan yang sering dikesampingkan sebagaimana kadang-kadang sekarang ini diperlukan seperti itu sebagai ‘buta haruf’ semata. Bahwa budaya yunani kuno itu dibentuk oleh dominasi kumonikasi lisan adalah suatu pandangan yang sekarang ini sama-sama dipercaya luas oleh para ilmuwan klasik.
Namun Alexander Agung ekspedisi-ekspedisi dia dalam sebua peti benda-benda berharga, sedangkan sebuah perpustakaan besar yang terdiri dari kira-kira setengah juta gulungan ditemukan di kota yang diberi nama dengan namanya, Alexandria. Bukanlah suatu kebetulan bahwa kerja sama dengan perpustakaan manuskrip yang luas inilah, yang telah memungkinkan informasi dan gagasan dari macam-macam orang, tempat dan waktu dapat disejajarkan dan diperbandingkan, sehingga berkembanglah suatu mazhab kritik, dengan mengambil keuntungan dari sumber-sumber perpustakaan itu untuk mengembangkan pratek-praktek yang hanya bisa berkembang di era percetakan.[]

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan