Pernahkah
anda berpikir bahwa apa yang terbaik di rumah anda belum tentu terbaik di rumah
orang lain. Pernahkah terlintas dalam pikran anda bahwa anda bisa mendapatkan
sesuatu yang jauh lebih baik di tempat lain. Kebanyakan orang berpikir
demikian. Sudah banyak contoh yang dapat kita lihat. Seorang mahasiswa Untan,
yang bahkan harus berkompetisi demi mendapatkan status mahasiswa Untan, rela
melepaskan status mahasiswanya untuk menerima tawaran dari universitas lain di
Pulau Jawa. Murti, mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), jurusan
farmasi angkatan 2008 bahkan sampai rela menganggur selama setahun setelah
gagal dalam ujian masuk Universitas Gajah Mada (UGM) yang diidam-idamkannya di
tahun 2007. Pada akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan Pontianak sementara waktu untuk masuk menjadi
bagian dari UNY di tahun 2008.
Satu
bagian penting yang dapat kita jadikan bahan pemikiran ialah, mengapa
pendidikan di Pulau Jawa selalu menjadi fokus bagi kebanyakan orang yang ingin
melanjutkan pendidikannya. Mengapa baik sekolah maupun universitas di
Kalimantan Barat tidak menjadi pilihan terbaik bagi pemuda-pemudi Kalbar
sendiri dalam menuntut pendidikan. Salah satu hal yang mungkin anda sadari
ialah bahwa Kalbat tidak cukup unggul dalam mengatur sistem pendidikannya
seperti halnya pendidikan di Pulau Jawa. Bagaimana tidak, karena dari segi
kondisi wilayah saja, Kalimantan Barat cukup berbeda dengan kondisi wilayah
pulau Jawa. Kalbar memiliki banyak daerah pelosok dan daerah pinggiran serta
memiliki kebutuhan akan lulusan yang ahli tidak hanya sekedar teori tapi juga
mampu untuk mempraktekkannya di daerahnya masing-,masing. Jadi pada intinya
pendidikan Kalbar yang multikultural membutuhkan sistem pendidikan yang tepat
dan tidak hanya berfokus pada sistem pendidikan di pulau Jawa.
Kecenderungan
untuk memfokuskan pendidikan Kalbar pada pendidikan pulau Jawa ini membawa
keprihatinan tersendiri bagi Alexander Akim, kepala dinas pendidikan
provinsi. Ia menyangsikan pendidikan
Kalbar dapat disamakan dengan pendidikan di pulau Jawa sementara di Kalbar
sendiri antara daerah yang satu dengan
daerah yang lainnya saja kemampuan nya tidak sama. Tentu saja rentang perbedaan
kemampuan pendidikan ini akan jauh lebih lebar bila kita bandingkan dengan
kemampuan pendidikan di luar Kalbar khususnya pulau Jawa.
“Orang kampong jangan dipaksakan
bawa mobil, jatok ke jurang dia,” ucap Akim saat mengasosiasikan sistem
pendidikan pusat yang dipaksakan pada pendidikan Kalbar yang multicultural.
Menurut
Akim, akan lebih baik jika terdapat pengembangan strategi yang tepat bagi
daerah-daerah pinggiran di wilayah Kalbar namun tetap mengacu pada standar
kurikulum maupun standar mutu yang ditentukan oleh pusat.
“Mampukah orang Kapuas Hulu lalu
sama dengan Jakarta,”
kata Alexander Akim yang biasanya lebih akrab disapa Akim ini. “Bagaiman
strategi yang harus dikembangkan untuk daerah pinggiran ini harus di tata.
Jangan sampai di pukul rata.” Lanjut nya.
Berkaca
pada data Human Development Index (HDI) yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik
(BPS), kualitas pendidikan Kalbar dapat dikatakan luar biasa buruk dengan
selalu menduduki urutan ke 28 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia setiap
tahunnya. Prestasi Kalbar yang selalu menduduki posisi lima besar terbawah dalam indeks prestasi
manusianya ini tentu saja dapat menjadi penyebab kurangnya kepercayaan
masyarakat terhadap sistem pendidikan kalbar yang berdampak pada kualitas
pendidikannya. Namun, data HDI tersebut
bukanlah kartu mati bagi pendidikan Kalbar saat ini. Hal ini tentu saja karena
peluang adanya kesalahan dalam pengumpulan data dapat terjadi bahkan pada data
BPS sekalipun. Hal tersebut dapat dikaitkan pada pernyataan Akim bahwa masih
terdapat data-data yang perlu sinkronisasi.
“Ada beberapa hal
yang perlu rekonsiliasi menurut saya.” Tutur Akim
Data-data lama
masih belum tergantikan dengan data-data yang baru. Padahal departemen pusat
atau lembaga manapun selalu mengacu pada data dari BPS sesuai dengan aturan
yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah.
“Data
BPS itu sendiri nampaknya perlu sinkronisasi di lembaga teknis.”
Penyingkronan data tersebut terkait beberapa hal yaitu
jumlah angka penyandang buta aksara Kalbar dan rata-rata lamanya masa belajar.
Angka buta aksara di Kalbar seharusnya hanya sekitar sembilanpuluh orang.
Tetapi data BPS terakhir mencatat angka buta aksara Kalbar mencapai 238.000
orang.
“Ini
yang tidak benar data itu. Dua ratus tiga puluh delapan ribu ini data waktu
saya menjadi guru. Masa’ sih?,” ungkap Akim berapi-api sembari tetap menahan
nada suaranya agar tidak meninggi. “Setelah kita adakan pendataan ternyata
hanya sembilanpuluhan ribu,” sambung nya.
Kesalahan juga terjadi pada data lama belajar yang
menyebutkan bahwa rata-rata lama belajar hanya enam hingga tujuh tahun. Padahal
seharusnya rata-rata lama belajar di Kalbar sudah mencapai tujuh hingga delapan
tahun.
“Rata-rata
lama belajar masyarakat Kalbar hari gini tuh enam koma tujuh tahun. Angka ini
juga sama dengan waktu saya jadi guru honor. Ndak ada bergerak angka itu tuh.”
Ujar Akim. “Ini yang mempengaruhi HDI kita pada posisi rendah,” tambahnya.
Berdasarkan
pernyataan Alexander Akim dapat kita simpulkan bahwa penyebab utama HDI Kalbar
yang rendah ialah semata-mata karena data yang salah. Meski begitu kesalahan
data bukanlah satu-satunya penyebab rendahnya kualitas pendidikan Kalbar yang
ditunjukkan oleh HDI. Kualitas maupun kuantitas guru juga ikut menjadin tolak
ukur gambaran pendidikan Kalbar. Hanya saja, yang menjadi masalah ialah adanya
persebaran guru yang tidak merata di setiap daerah yang ada di Kalbar. Meski
begitu hal ini dapat diatasi jika para guru tersebut memiliki komitmen untuk
mencerdaskan murid-muridnya lebih daripada melaksanakan kewajiban. Hal ini
dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Alexander Akim selama 5 tahun.
Demi mengetahui persentase peran guru terhadap
keberhasilan siswa, dilaksanakanlah ulangan umum bersama sekabupaten dimana
pengawasannya dilakukan secara silang. Kemudian hasil ulangan tersebut
dikoreksi bersama-sama yang hasilnya dijadikan perbandingan antara hasil dari
sekolah berguru lebih dari lima dengan sekolah yang hanya memiliki guru kurang
dari lima. Setelah dibandingkan ternyata hasilnya tidak jauh berbeda. Jadi,
kuantitas guru tidak linear dengan kualitas diman komitmen giuru lebih banyak
berperan dalam keberhasilan siswa.
Dari segi pandangan mahasiswa sarana dan prasarana juga
menjadi penyebab kurangnya kualitas pendidikan selain data yang salah dan
komitmen guru. Buci Harven Parjoko, mahasiswa FKIP angkatan 2007 mengutarakan pendapatnya
bahwa kualitas pendidikanKalbar belum merata dikarenakan sarana dan prasarana
yang belum merata dan mental beberapa guru yang tidak mau mengajar di
pedalaman. Pendapat yang sama dikeluarkan dari mulut Aswandi, dekan FKIP Untan,
bahwa guru dan sarana prasarana ikut menentukan.
“Faktor
pendidikan tuh banyak. Faktor guru. Faktor sarana prasarana. Kan setengah
sekolah kite rusak. Belum lagi sarana prasarana yang lain,” ujar Aswandi. “Kan
ada diterangkan separoh guru kita honor yang tidak layak ngajar,” tandas nya
lagi.
Alexander Akim yang sekarang menjabat sebagai kepala
dinas pendidikan provinsi punya caranya sendiri untuk merenovasi pendidikan
Kalbar. Ia berusaha untuk tidak hanya menjangkau satu sekolah saja melainkan
setiap sekolah. Cara yang dilakukannya ialah dengan usaha pembangunan kualitas
guru berbasis konsep “mobile teacher”. Dalam konsep mobile teacher ini,
guru-guru yang mengajar di salah satu sekolah dalam satu kecamatan tidak akan
mengajar di sekolah yang sama dalam jangka waktu yang lama melainkan hanya enam
bulan. Hal ini bukan berarti bahwa setelah enam bulan mereka akan di pecat
melainkan mereka aka dipindahkan ke sekolah berbeda di kecamatan lain dengan
status kepegawaian tetap pada sekolah asal yang menerima mereka pertama kali.
Konsep mobile teacher ini memang bukan konsep yang baru.
Tapi menurut Akim konsep seperti ini menawarkan beberapa keuntungan. Salah
satunya ialah akan timbul motivasi dari dalam diri guru itu sendiri bahwa
sekalipun ia mampu dan pantas untuk mengajar di sekolah manapun baik itu
favorit atau tidak. Sehingga dengan demikian guru akan terus berusaha untuk
meningkatkan kualtasnya. Keuntungan lain yang dapat diperoleh konsep yang
dijadwalkan akan diterapkan pada tahun 2010 ini yaitu adanya perubahan suasana
sehingga baik murid maupun guru tidak akan mudah merasa bosan.
Dian Purnama Sari, mahasiswa FKIP Untan jurusan ekonomi
2007 mengungkapkan kesetujuannya akan konsep yang ditawarkan oleh Akim. “Dian
setuju, biarpun nantinya kita susah buat adaptasi di lingkungan sekolah yang
baru, tapi dengan pindah-pindah sekolah kita bisa cari pengalaman, bukan
sekedar cari pengalaman hidup, tapi juga pengalaman ngajar, baik itu dari cara
kita ngajar ataupun dari cara pengajaran di sekolah yang bersangkutan.
Konsep lain yang ditawarkan oleh Kepala Dinas Pendidikan
Akim yaitu rencana pembuatan Grand Desain pendidikan Kalbar. Grand Desain
merupakan suatu rencana dimana nantinya para utusan guru dari tiap kabupaten
akan di didik selama kurang lebih 3 bulan kemudian mereka akan dikembalikan ke
daerah mereka untuk kembali di didik oleh pemerintah darerah masing-masing.
Diharapkan guru-guru yang telah di didik ini nantinya akan menjadi bibit yang
akan member pengaruh positif bagi guru lain di daerahnya tersebut sehingga
kualitas guru pun akan meningkat pada akhirnya.
Kedua konsep tersebut bagai bersambut dengan konsep
sebelumnya yang baru saja mulai diterapkan tahun ini dimana siswa daerah yang
ingin masuk ke SMA Negeri hanya memiliki kuota yang terbatas sebesar 5 persen
dari jumlah murid yang mendaftar. Dukungan tersebut didasarkan pada pemikiran
Akim sendiri bahwa konsep 5 persen tersebut sesuai dengan konsep yang
ditawarkannya demi memajukan pendidikan Kalbar. Ia yakin siswa daerah dengan
nilai yang tinggi akan dapat lebih maju jika dikelola dengan lebih matang di
daerahnya masing-masing tanpa mematikan mutu.
“Kita bukan diskriminatif tapi melayani sesuai dengan
kemampuan,” jelas Akim. “Hanya memberikan porsi yang sesuai dengan kondisi
mereka,” lanjutnya.
Mahasiswa Untan lagi-lagi memiliki pemikiran yang sama
dengan Akim. Marwan, mahasiswa Pertanian 2003 mengatakan bahwa konsep semacam
itu wajar-wajar saja karena menurutnya sekolah negri juga harus menampung
lulusan dari kota yang cukup banyak.
“Apalagi sekolah swasta ini kan selalu open,” kata Marwan
menguatkan alasannya.
Dalam setiap hal pasti selalu ada yang pro dan ada yang
kontra.
“Ngape anak dari daerah tuh gak dikasih kesempatan
banyak,” kata Bunga siswa SMK 1 saat mengungkapkan kekecewaannya.
Terlepas
daripada itu semua Alexander Akim berharap agar semua strategi yang ditawarkan
oleh pemerintah provinsi dan Dinas Pendidikan Provinsi akan di dukung oleh
masyarakat, guru, para pendidik maupun para pemerhati pendidikan.
Meskipun
pemerintah baik pusat maupun daerah menawarkan banyak konsep. Tetap saja
dalam konsep tersebut masih terdapat kecenderungan pada sekolah negeri. Lalu
bagaimana dengan sekolah swasta yang ada di Kalbar. Sebutlah salah satu sekolah
swasta kota Pontianak yaitu SMA Sutan Syarif Abdurrachman. Jika dilihat dari
luar sekolah ini tampak kokoh dengan cat nya yang berwarna kuning. Tetapi jika
melihat wajah gedung sekolah Sultan Syarif Abdurachman tampak dari belakang,
gedung ini terlihat seperti gedung tua yang rapuh dan tidak terawat. Dinding
semennya sama sekali tidak berlapis cat bahkan cenderung berwarna kusam dan
kotor. Sebagian besar jendelanya banyak yang tidak memiliki kaca. Kalau ingin
membandingkan dengan seklah-sekolah lain disekitarnya keadaan sekolah Sutan
Syarif Abdurachman cukup memprihatinkan. Agus Budiyanto selaku wakasek sangat
berharap akan adanya bantuan dari semua pihak untuk membenahi sekolah.
Bagai
gayung yang bersambut, Chairil Effendi, rector Universitas Tnjungpura (Untan),
turut andil dalam merenovasi pendidikan dengan turut memberikan bantuan melalui
kerjasamanya dengan swsta SMA Sutan Syarif Abdurrachman. Bahkan, rencana
kerjasama perbaikan gedung SMA tersebut sudah mulai dilakukan tahun ini.
Sehingga dari kerjasama ini sekolah swasta tersebut dapat kembali berbenah
mulai dari segi sarana dan prasarana hingga kualitasnya. Hal tersebut dapat
menjadi pandangan bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan Kalbar bukan
hanya dibangun dari pendidikan negri tetapi juga harus tetap memperhatikan
pendidikan swasta karena keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk
memberikan ilmu kepada anak didiknya sehingga berhasil di masa depannya.
Lain kepala lain juga pemikirannya. Saat Alexander Akim,
kepala Dinas Pendidikan Provinsi berpikir tentang apa yang dapat dilakukan pada
para guru dan Chairil Effendi, rector Untan berpikir tentang apa yang harus
dilakukan pada sekolah , Aswandi, Dekan FKIP Untan, dilain sisi malah berpikir
tentang apa yang bisa diberikan pada para guru. Aswandi telah lama merencanakan
dan mengusulkan terbentuknya suatu program bagi para calon guru untuk
mendapatkan sertifikat mengajar. Program tersebut ialah program Pendidikan
Profesi Guru (PPG).
Usaha ini pantas diacungi jempol karena potensi yang ada
pada program ini untuk menaikkan kualitas guru yang akan mengajar yang nanti
nya secara tidak langsung akan berdampak baik bagi peningkatan kualitas
pendidikan Kalbar. Namun, meskipun program ini sudah dijadwalkan akan dimulai
pada bulan Oktober tahun 2009 ini, program ini masih belum dapat kita rasakan
karena adanya keterlambatan. Keterlambatan ini terkait dengan keterlambatan
penilaian kelayakan dari pusat. Meskipun ada sedikit kekhawatiran akan lulus
tidaknya prodi-prodi baik prodi bahasa inggris, ekonomi maupun matematika yang
diajukan untuk program PPG ini, namun kita patut optimis karena usaha dan kerja
keras yang telah ditunjukkan Aswandi. Selain itu pula kita sudah dapat melihat
bangunan baru yang telah disediakan untuk program PPG ini. Sehingga akan sangat
disayangkan jika nantinya program PPG itu tidak jadi terlaksana.
“Semoga PPG dapat berjalan,” harap Aswandi.
0 komentar:
Posting Komentar