HERYANTO
Suatu
pagi, terjadi obrolan hangat seputar korupsi. Salah seorang yang hadir di situ nyeletuk.
“Apa beda maling ayam dengan koruptor? Mendengar pertanyaan ini yang lain mulai
bereaksi? Setelah menimbang-nimbang, ada juga yang menanggapinya. Ia
melajutkan.
Pertama,
maling ayam itu paling banter mencuri 2 atau 3 ayam, Itupun ayam jinak. Lebih
dari itu bisa-bisa ketahuan si pemilik rumah. Kalo koruptor itu banyak
urusannya, nggak hanya nyuri ayam, duit pupuk, dana orang miskin, raskin,
pokoknya semua yang bisa diambil ya diambil.
Kedua,
maling ayam salah langkah sedikit bisa mati ketangkep sama warga dan kemudian
digebukin
sampai mati, kalo koruptor, sudah salah berkali-kali masih bisa diampuni, ya walaupun alasannya pengampunannya dicari kemudian, sakit misalnya. Ketiga, maling ayam hukumannya jelas, 3, 4, atau 5 bulan. Kalo koruptor, boro-boro dihukum, dia malah nyogok si jaksa dan hakim, minta dibebaskan.”
sampai mati, kalo koruptor, sudah salah berkali-kali masih bisa diampuni, ya walaupun alasannya pengampunannya dicari kemudian, sakit misalnya. Ketiga, maling ayam hukumannya jelas, 3, 4, atau 5 bulan. Kalo koruptor, boro-boro dihukum, dia malah nyogok si jaksa dan hakim, minta dibebaskan.”
Obrolan
di warung kopi tersebut bisa menyiratkan sesuatu yang selama ini dirasakan oleh
masyarakat. Ada satu persepsi yang terbentuk di masyarakat, bahwa maling ayam
begini-begini dan koruptor begitu-begitu. Tentu saja persepsi ini tidak
terbentuk dalam waktu sekejap. Tidak dalam dua tiga hari. Pasca reformasi,
lebih lagi setelah penerapan otonomi daerah, boleh dikatakan setiap hari
masyarakat selalu disuguhi berita-berita korupsi cum berita-berita kriminal,
macam pencurian.
Dan
tentu saja kembali ke persepsi tadi. Memang tidak bisa secara langsung menyamakan
antara maling dan korputor, namun dalam benak masyarakat akan sepakat kalo
kedua-duanya sama-sama melakukan hal yang merugikan pihak lain. Katakanlah
mengambil hak orang lain. Dengan perbuatan yang sama dan kemudian dengan
perlakuan yang berbeda. Siapa yang bisa membenarkan? Dalam ruang seperti ini,
kefrustasian masyarakat kian menjadi.
Tapi
sampai saat ini mungkin belum ada yang menyangka Indonesia yang pada awalnya
sepertinya tak pernah terdengar adanya kasus korupsi, begitu pasca reformasi
ternyata meledak dengan berbagai kasus. Di berbagai daerah, tidak sedikit
anggota dewan yang kecemplung masalah duit ini. Jika dulu-dulu korupsi tak
nampak, kini laporan korupsi malah tak tertangani.
Pada
tingkat makro, sejumlah besar kebijakan, penerapan peraturan dan aturan
mengenai hukum yang berbeda telah terjerat kalangan vested interest yang biasanya kroni presiden waktu itu, Soeharto
yang menimbulkan banyak kecurangan dalam berbagai kebijakan orde baru. Meskipun
UU Anti Korupsi sudah ada namun umumnya terbatas, terdistorsi, dan bahkan
sering tak digubris.
Sejak
lebih dari 3 dasawarsa berlangsung kekuasaan otoriter korupsi telah mengakar
dan cenderung diterima oleh masyarakat. Timbul situasi ketiadaan budaya malu
melakukan korupsi.
Semua
tentu menginginkan korupsi di Indonesia bisa hilang atau setidaknya ditekankan
sampai titik terendah. KKN telah menyebabkan kesulitan besar dalam membangun
ekonomi, pemerataan dan keadilan. Kondisi ini terjadi karena lima faktor yang
kurang baik. Yakni faktor pengelolaan pemerintahan, pengawasan, pelaksanaan dan
penerapan aturan, penegakan hukum serta problem kesejahteraan.
Aparat
penegak hukum adalah instansi yang harus menjadi contoh penegakan hukum. Tanpa
aparat penegak hukum yang bersih dan baik, bagaimanapun baiknya peraturan yang
dibuat dan dilaksanakan akan sia-sia. Jadi dalam hal ini, kepolisian, kejaksaan,
pengadilan yang harus berperan dan menjalankan fungsinya dengan benar.
Persoalan korupsi seperti menggurita. Memang selama ini, dengan semakin
banyaknya kasus korupsi yang terjadi, tak hanya wilayah pusat saja yang selama
ini tak banyak korupsi, tetapi juga pada lingkup di daerah. Otonomi daerah yang
pada awalnya diharapkan untuk menyejahterakan daerah, namun pada akhirnya
membuat semakin banyaknya kasus korupsi di daerah.
Menurut data komisi pemberantasan korupsi (KPK), setidaknya sebanyak 11.500
kasus sedang ditangani oleh KPK. Sementara itu dengan banyaknya kasus yang
ditangani ini, KPK sendiri merasa tidak mampu untuk menangani semua masalah
itu. Taufiqurahman Ruqi membenarkan bahwa, sebaiknya KPK bukan hanya menjadi
satu-satunya penengak hukum soal korupsi. KPK masih sebatas pendorong bagi
penanganan kasus korupsi, sementara pihak kepolisian dan kejaksaan yang
semestinya aktif dalam masalah ini. Selama ini polisi maupun jaksa lebih
memilih untuk menunggu bola. Padahal sebaiknya mestinya menjemput bola.
Hal yang pasti menentukan adalah peran ketiga instansi penegakan hukum tadi
harus memiliki kemampuan menegakkan hukum. Karena pada peran merekalah kunci
dari segala keluhan problem hukum. Hukum
yang tegas merupakan salah satu cara menghadang korupsi.
Namun terkadang kontrol yang tidak kuat sehingga dengan mudah penyelewengan
terjadi. Dulu korupsi itu di pusat
kekuasaan dan DPR RI. Namun sekarang korupsi menyebar ke pemerintah daerah,
DPRD, seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Di mana-mana DPRD terlibat
korupsi.
Dan maling ayam masuk penjara, sementara para pejabat itu masih terus
bergentayangan mencari sasaran baru.
0 komentar:
Posting Komentar