Thank's For

JALAN RUMIT PEMBERANTASAN KORUPSI

Tak dipungkiri korupsi dapat membuat bangkrut sebuah negara. Dalam beberapa waktu saja korupsi meluluhlantakkan sendi perekonomian Indonesia. Dalam skala yang lebih luas korupsi telah membuat krisis di bidang ekonomi, pertumbuhan ekonomi terhambat, dan membuahkan kemiskinan di mana-mana. Kata-kata korupsi semakin populer di seluruh wilayah di Indonesia, bahkan seluruh dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa peristiwa hukum atau tindak pidana yang disebut dengan korupsi tersebut telah terjadi di hampir semua negara atau semua pemerintahan. 
Sementara Indonesia berdasarkan berbagai survey menduduki peringkat tertinggi tingkat korupsinya dibanding dengan negara-negara lain. Setidaknya hal ini menurut pandangan Darmono, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat, dalam Seminar Antikorupsi pada 24 Juli 2006 di gedung PCC. ”Korupsi telah merambah di hampir semua lapisan pemerintahan dari tingkat pusat sampai ke tingkat daerah,” kata Darmono.

Mengenai tingkat korupsi di Indonesia jangan ditanya lagi. Tahun 1999 Indonesia menduduki posisi paling parah dalam hal indeks good governance, indeks korupsi, dan indeks efisiensi peradilan dibandingkan dengan beberapa negara di Asia Tenggara.

Menurut M Yusuf Rizal, Presiden Lumbung Informasi Rakyat (LIRA). Indonesia juga termasuk ke dalam kategori negara Poor Governance. Indeks kualitas good governance diukur dari (1) partisipasi masyarakat, (2) indeks orientasi pemerintah, (3) indeks pembangunan sosial, (4) indeks manajemen ekonomi makro.

Komponen dari indeks pastisipasi masyarakat adalah kebebasan politik dan stabilitas politik, sedangkan indeks orientasi pemerintah adalah efisiensi peradilan, efisiensi birokrasi dan rendahnya korupsi. Indeks pembangunan sosial dilihat dari indikator pengembangan sumber daya manusia dan pemerataan distribusi pendapatan. Komponen indeks manajemen ekonomi terdiri dari kebijakan ekonomi berorientasi ke luar, indepensi bank sentral dan rasio hutang luar negeri terhadap produk domestik bruto.

Berdasarkan indeks dan komponen masing-masing komponen tersebut kemudian diperoleh hasil perhitungan indeks kualitas governance, yang dikategorikan: (1) good governance (2) fair governance (3) poor governance.

Dalam hal ini Indonesia dikategorikan sebagai Poor Governance dan masih jauh dari good governance.

Rizal menilai, kelemahan yang sangat mencolok dalam proses pencapaian good governance selama ini adalah tingginya korupsi yang terjadi. ”Korupsi dapat dikatakan merajalela terutama di kalangan birokrasi pada institusi publik atau lembaga pemerintah baik departeman maupun lembaga bukan departemen.”

Menurut perkiraan Rizal, korupsi paling telanjang dalam hal penyelewengan anggaran negara. Sekitar 30-50 persen anggaran negara dikorup setiap tahunnya. ”Angka yang cukup fantastis, misalnya, jika digunakan untuk merasionalisasikan gaji PNS, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat dari nilai gaji sekarang,” katanya.

Asumsinya mengacu pada APBN 2006 yang nilainya mencapai Rp 623 trilyun, nilai kebocoran anggaran negara bisa mencapai Rp 207 trilyun. Ini dapat dilihat dari nilai pengeluaran untuk belanja rutin, belanja pegawai dan sebagainya yang nilainya paling tidak hanya mencapai Rp 164 trilyun, atau 10 kali lipat dari total pengeluaran negara untuk gaji pegawai yang paling rendah Rp 690. 300 dan gaji tertinggi Rp 2.070.000 setelah terjadi kenaikan 15 persen per Januari 2006 lalu.

Mengacu pada laporan Transaparansi Internasional Indonesia (TII) tahun 2005, Rizal merincikan, dari 21 daerah yang diteliti, sebenarnya penyelewengan anggaran negara terjadi hampir di setiap sektor-sektor melalui berbagai modus operandi, salah satunya adalah interaksi suap.

Kebocoran anggaran sesungguhnya bukan sesuatu yang baru. Satu dasawarsa silam Begawan Ekonomi Indonesia Soemitro Djojohadikusumo telah melontarkan dugaan adanya kebocoran yang signifikan dalam pengelolaan anggaran negara.

Kebocoran tersebut terjadi karena kontrol terhadap pejabat publik dan penggunaaan anggaran sangat minim. ”Sebenarnya, seorang pejabat publik harus mengumumkan secara transparan kekayaan yang dimilikinya sebelum dan sesudah menduduki suatu jabatan tertentu. Sehingga diketahui apakah kekayaan yang dipunyai diperoleh secara halal atau melawan hukum,” ujarnya.

Namun yang sangat disesalkan Rizal, di Indonesia sangat sulit mengharapkan pejabat publik tak berlaku korup alias bersih. ”Ini semua terjadi lantaran lemahnya kontrol masyarakat dan proses law enforcement (penegakan hukum),” ungkapnya.

Parahnya lagi, ini ditunjang oleh paradoks di dalam sistem pemerintahan yang menempatkan aparat penegak hukum (polisi, jaksa, dan hakim) menjadi subordinasi dari kekuasaan. Dalam kondisi seperti ini sangat sulit mengharapkan indepensi para penegak hukum.

Mengapa penyelewengan KKN begitu merajelela di Indonesia? Secara teoritis terjadinya korupsi dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan dimungkinkan karena adanya 1) regulasi dan otorisasi yang memungkinkan terjadinya korupsi, (2) karakteristik tertentu dari sistem perpajakan dan (3) adanya provisi atas barang dan jasa. Sedangkan dari sisi penawaran terjadi karena (1) tradisi biorkrasi yang cenderung korup, (2) rendahnya gaji pegawai (3) kontrol institusi tidak memadai (4) transaparansi dan penegakan hukum yang tidak jalan.

Di tempat terpisah, Indra Aminullah, aktivis KAMMI Kalbar yang belakangan ini aktif mendorong transparansi di kota Pontianak mengatakan, korupsi adalah bagian integral dari setiap birokrasi, akibat konflik kepentingan antar segelintir pengusaha, penegak hukum, birokrat dan politisi, yang sukar dibingkar diluar dan tidak mudah untuk diubah dari luar.

Indra melihat persoalan korupsi itu adalah persoalan kesempatan. Ia kurang sependapat jika dikatakan bahwa korupsi adalah sebuah budaya. ”Siapapun orangnya, di mana pun, kapan pun, bisa saja melakukan korupsi bila ada kesempatan. Tak terkecuali dia seorang ustadz, atau rohaniawan sekalipun,” ujarnya

Hal ini dibenarkan oleh Hermawansyah dari Pokja Anti Korupsi. Menurut Wawan, demikian ia biasa disapa, korupsi sudah berlangsung lama di dunia birokrasi. Namun yang terkuak baru 2 atau 3 tahun belakangan. Hal ini salah satunya seiring mulai tumbuhnya kesadaran publik untuk melakukan pengawasan. Misalnya saja tumbuhnya kelompok NGO yang mau melakukan investigasi, pengawasan, pembongkaran kasus korupsi.

Kebanyakan kasus korupsi yang terbongkar lebih banyak seputar dugaan korupsi APBD terutama di DPRD dan penyalahgunaan wewenang kepala atau wakil (daerah). Namun kasus lain seperti pengadaan barang dan jasa masih sulit dijangkau.

Butuh waktu panjang untuk memberantas korupsi. Dalam hal ini karena korupsi sudah sangat mengakar, dalam struktur pemerintahan tertinggi sampai ke tingkat RT dan RW.

Bagi Firanda SH, Praktisi Hukum, korupsi sudah demikian masuk ke struktur pemerintahan dan birokrasi. ”Kebutuhan masyarakat akan akses yang cepat terhadap birokrasi di tingkat lembaga pemerintahan, sampai ke desa justru dimanfaatkan untuk memperkaya diri sendiri. Sebut saja pada contoh yang kecil, misalnya pada pengurusan KTP, inipun dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan. Apalagi pada Pajak Bumi dan Bangunan,” ungkapnya.

Karena sudah mengakar, Firanda menilai, pemberantasan korupsi perlu proses lama dengan jalan penyadaran atau pendidikan serta birokrasi yang tidak menyulitkan.

Untuk proses pengungkapan kasus korupsi, pertama, harus ada pelaporan atau temuan dari masyarakat atau dari lembaga pemerintah sendiri. Namun pelaporan ini juga sulit karena masyarakat menganggap ini persoalan pemerintah bukan urusan mereka. Tentu karena masyarakat tidak dirugikan secara langsung, sehingga kurangnya interest masyarakat dalam mengungkap kasus atau melaporkannya. ”Kasus dianggap bukan urusan masyarakat, walaupun tingkat korupsi sudah begitu tinggi,” katanya.

Sementara lembaga pemerintah seperti Badan Pengawas Daerah (Bawasda) temuan yang mereka dapat tidak ditindaklanjuti ke tingkat penyidikan kepolisian.

Alasannya ini badan pengawas daerah jadi hanya melihat proses pelaksanaan saja dan hanya sekadar dilaporkan ke Bupati atau Badan Pengawas Kepegawaian. Jika ada pejabat yang ternyata melakukan korupsi paling hanya sekadar dipindahtugaskan/ dimutasi dan datanya tertutup.

Padahal menurut Firanda, temuan kasus korupsi di tingkat aparatur pemerintah daerah cukup banyak. Namun tidak satupun yang ditindaklanjuti.

”Sampai saat ini sesuai penelitian yang saya lakukan belum ada satupun kasus korupsi aparatur pemerintah daerah yang dibawa ke pengadilan dan si aparaturnya diberhentikan dengan tidak hormat,” ungkapnya.

Sehingga dengan demikian tidak ada efek jera bagi mereka yang telah melakukan tindak pidana korupsi. Dan yang paling dirugikan adalah negara. Karena mereka mengambil uang negara.

Tidak bayar pajak saja berarti sudah termasuk korupsi karena sudah merugikan pendapatan negara. Dalam kurun waktu belakangan ini yang sering melaporkan kasus korupsi justru lebih banyak pada LSM dan KPK. ”Untuk pelaporan kasus korupsi, KPK memang lebih banyak, karena KPK punya akses untuk meneliti atau mengadakan penyelidikan terhadap lembaga atau instansi pemerintah, semisal BUMD,” ujar Firanda.

Di Kalbar kasus korupsi yang naik proses pengadilan tidak banyak. ”Bisa dihitung jarilah. Di antaranya PTPN XIII, Kasus RSU Sudarso, dan korupsi PKS BBM,” lanjutnya lagi.

Pengungkapan kasus korupsi cukup rumit. Setelah ada temuan KPK baru kemudian dilaporkan ke kejaksaan untuk diproses dan disusun ulang kembali. Baru kemudian akan dilakukan penyidikan terhadap kasus yang dilaporkan tersebut. Setelah didapat berbagi fakta-fata dan bukti-bukti yang lengkap, baru dilakukan penuntutan.

Namun di tingkat kejaksaan biasanya prosesnya memakan waktu cukup lama. Penyebabnya, karena dalam proses penyidikan itu tidak punya banyak tenaga ahli dalam bidang keuangan, penghitungan, dan bagaimana regulasinya.

Masalah lain pada jaksa penuntut umum. ”Memang seharusnya ada jaksa penuntut umum tindak pidana korupsi, yang khusus menangani kasus korupsi. Di Kalbar sendiri belum ada jaksa tipikor ini,” sarannya.

Akibatnya, jumlah kasus korupsi yang dilaporkan yang biasanya berjumlah 20 kasus pertahun itu, paling yang ditindaklanjuti hanya 6 kasus saja. Dan itupun kasus yang memang sudah begitu gencar diberitakan di media. Kasus besar saja yang ditangani. Sementara banyak kasus lain tidak tertangani.

Yang cukup rumit lagi bila indikasi korupsi dilakukan para pejabat. Untuk pemeriksaan kasus korupsi bupati atau anggota dewan misalnya harus ijin kepada presiden. Sedangkan proses itu memakan waktu lama dan berbelit-belit.

”Pengaruh poltitk terhadap penegakan hukum cukup besar. Tidak seperti kasus kriminal seperti pencurian ayam. Dari 2004 -2006 hanya empat kasus saja yang diputuskan Pengadilan Negeri Pontianak, yaitu BNI 46, Pusat Koperasi Kelapa,” rinci Firanda.

Dari berbagai masalah tersebut, Firanda menilai, hanya dengan perbaikan sistem informasi yang bertujuan membangun keterbukaan (transparency) sistem peradilan yang bisa efeketif untuk penyelesaian kasus korupsi.

Keterbukaan tidak saja bermakna sebagai bentuk pelayanan publik akan tetapi juga merupakan suatu bentuk sistem kontrol terhadap sistem dan proses peradilan. Salah satu wujud penting dari keterbukaan yaitu adanya akses publik terhadap setiap putusan atau penetapan pengadilan.

”Dari sudut pengawasan, akses publik akan mendorong hakim berhati-hati, bermutu dan tidak memihak mengingat setiap putusan atau ketetapan akan menjadi wacana atau pengamatan publik secara ilmiah maupun pendapat umum.”

Menurut Firanda pemetaan aktor korupsi juga penting. Di Kalbar ada 48 kasus ditambah 1 kasus Elji Komputer dengan indikasi kerugian negara sekitar 250 milyar (versi Kontak Borneo) dan versi Kejaksaan 190 milyar. ”Itu yang baru ketahuan,” ungkapnya.

Ada 345 anggota dewan yang terindikasi korupsi, namun yang jadi tersangka hanya 4 orang, yaitu Zulfadli, Gusti Syamsumin, Jon Pangkai, dan Rudi Alamsyah Rum (alm).

”Segala permasalahan ini karena selama ini tidak ada efek jera, karena pelaku korupsi belum ada yang divonis penjara. Misalnya saja pada kasus Bestari Gate dan Sambas Gate. Para tersangkanya bebas begitu saja,” katanya.

Motif korupsi dominannya adalah pembengkakkan anggaran. Misalnya sesuai dengan PP 110 keuangan menyebutkan ada 37 anggaran dewan, nah di luar anggaran yang telah diatur dalam PP itu maka berarti ada korupsi di dalamnya.

Kekurangan lainnya adalah kurangnya kesiapan para penegak hukum. Para hakim yang awalnya menangani kasus-kasus kriminal dan kemudian mesti menangangi kasus korupsi, selama ini jarang sekali ditangani sehingga menjadi canggung.

Makanya terjadi semacam kegrogian hakim yang menangani masalah korupsi yang sangat politis. Selain itu para hakim itu berhadapan dengan sebuah kekuasaan yang cukup besar, sehingga kasus-kasus itu bisa saja menguap begitu saja.

Gerakan Anti Korupsi

Indra Aminullah memberikan pandangan perlu adanya gerakan anti korupsi yang dibangun secara sistemik dan terstruktur. ”Semua gerakan anti korupsi (baik yang ada di buku-buku atau teori-teori} itu omong kosong, kecuali gerakan anti korupsi yang dibangun secara sistemik dan terstruktur,” bebernya.

Menurut Indra, selama ini gerakan-gerakan anti korupsi sepertinya berjalan sendiri-sendiri. ”Akademisi jalan sendiri, LSM entah ke mana, dan mahasiswa tak bersatu. Padahal korupsi adalah bentuk kesepakatan, korupsi yang merezim, dan sarat dengan kepentingan. Maka dari itu perlu ada sinergisitas gerakan anti korupsi baik itu antar mahasiswa, LSM, akademisi, jurnalis, maupun pemerintah," ujarnya.

Dengan membangun gerakan secara sinergis dan secara sadar bahwa korupsi adalah sesuatu yang sangat berbahaya, maka baru bisa saling bekerja sama untuk memberantas korupsi itu. Jika itu belum dilakukan, korupsi tentu saja akan sangat sulit untuk dihilangkan. Terlebih lagi bila satu sama lain saling menjadi penghambat dan pesaing. Bila ada pesaing seperti itu, kerja-kerja yang sudah dibangun akan melemahkan satu sama lain. Akhirnya itu akan menguntungkan para koruptor dan mereka bisa enak-enak saja.

Sementara Pakar Hukum Untan, Slamet Rahardjo, lebih melihat gerakan anti korupsi juga bisa diperjuangkan lewat regulasi. Menurutnya ada Keppres No 4 Tahun 2005, tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, dengan ada Keppres ini aparat digiring agar cepat melaksanakan pemberantasan korupsi.

“Aparat diberi target-target, kalau sudah diberi target pemberantasan akan banyak penyimpangan. Kalau ingin menangani, harus ada mekanisme yang jelas. Begini, kalau ada uang masyarakat yang digunakan oleh pemerintah atau swasta itukan harus ada pengawasan, pengawasan berjenjang, pengawasan interen dan eskteren. Kalau instansi itukan ada di Pemda, ada Bawasda, ada BPK kalau di Untan,” jelasnya. [HERIYANTO]

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan