Thank's For

Persoalan Senirupa Lokal yang Tak Selesai

Oleh : Heriyanto

Ada satu hal yang cukup menarik dicermati, seputar persoalan senirupa di Kalbar. Bahwa senirupa Kalbar tertinggal dibandingkan daerah lain, khususnya di Jawa. Sebut saja Rulli Iswanto, penggiat Studi Rupa Warung Kopi yang juga Koordinator Seni Rupa Yayasan BIDAR, yang mempertanyakan hal ini. Menurutnya perkembangan seni rupa di Kalbar dalam kurun lima tahun belakangan ini sebenarnya seiring mengikuti perkembangan seni rupa di daerah-daerah lainnya. ”Tetapi mengapa masih (senirupa) Kalbar tetap saja masih tertinggal? Rulli membandingkan geliat senirupa dengan tetangga satu pulau, Kalimantan Timur, yang masih jauh tertinggal.

Setidaknya hal ini dilihat dari seberapa banyak karya yang sudah dihasilkan dan seberapa banyak pameran yang sudah dilaksanakan. Selanjutnya bagaimana pula dengan antusiasme masyarakat? Pertanyaan ini pantas diajukan. Pasalnya, dalam jangka waktu 5 tahun ini ternyata hanya ada 1 kali saja pameran senirupa yang diadakan di Pontianak. Yaitu pameran Senirupa Kontemporer bertajuk ”rupa-rupa isi kepala” yang diselenggarakan oleh Yayasan Bangun Insan dan Budaya Rakyat (BIDAR) dan Ruang Rupa-Rupanya pada akhir Desember 2005.

Dalam pameran itu ditampilkan 49 lukisan dan 4 karya instalasi dari 14 perupa yang selama ini eksis berpameran di Kalbar. Sementara minimnya antusiasme masyarakat dapat dilihat dari jumlah pengunjung yang datang. Tercatat hanya seratusan pengunjung saja yang datang.

Persoalan ini sering menjadi bahan diskusi di kalangan perupa Kalbar. Namun tampaknya belum ada satu benang merah yang bisa didapatkan. Menurut Indra Ae, yang juga pegiat senirupa Kalbar, kompleksitas permasalahan yang hanya sampai pada tataran diskusi, seminar, atau wacana hanya akan menambah panjang daftar permasalahan yang ada.

“Solusi sebenarnya ada pada diri kita sendiri, para pekerja seni, seniman, atau yang menganggap dirinya pelukis atau perupa,” ujarnya.

Di mana-mana, permasalahan lokalitas dalam kesenian nasional (seni rupa) selalu menjadi masalah yang klise. Sementara itu, seniman-seniman lokal masih terbelenggu dalam labirin pemikiran yang hanya berkutat seputar infrastruktur seni rupa yang belum terbangun di daerahnya. Tetapi tidak melihat pada diri perupa itu sendiri.

Indra Ae sendiri mengaku punya tekad untuk memajukan senirupa di Kalbar. Salah satu usaha yang dilakukannya dengan menyelenggarakan pameran. Dengan bekal lima tahun mengadakan pameran seni rupa di Kalbar dan didukung oleh beberapa komunitas seni rupa yang ada di Kota Pontianak, Indra Ae bersama rekan-rekannya memberanikan diri mengadakan sebuah pameran senirupa. Tema yang diangkat cukup berani, "Isi Kepala".

”Bebas. Setiap orang bebas mengapresiasi, menafsir, memaknai, dan menikmati karya-karya para seniman sesuai dengan isi kepala mereka. Demikian pula kebebasan para seniman untuk berekspresi,” ujar Indra Ae.

Bagi Indra, dengan konsep kebebasan berekspresi dan mempersepsi, adanya dialog bebas antara karya seni dan penikmatnya yang tidak melulu mempermasalahkan pakem-pakem seni rupa.

”Mungkin harus diakui, arus globalisasi telah menyeret manusia Indonesia secara sadar ataupun tidak "latah" menyikapi modernitas menjadi isu bersama,” lanjut Indra, ”Tapi apakah kemudian itu menjadi pertanda hilangnya jati diri manusia Indonesia? Atau justru ini merupakan tahapan transformasi menjadi manusia Indonesia yang mendunia?”

Indra Ae berharap, seniman-seniman lokal dapat berbuat dengan dengan segala potensi dan asset yang ada. ”Saya selalu berharap kesenian di Kalbar bisa sejajar dan menyejajarkan diri di kancah seni rupa nasional maupun dunia.”

”Bukan waktunya kini untuk menyalahkan keadaan, karena hanya akan menjadi bagian dari masalah bukan bagian dari solusi. Kesadaran yang harus ditumbuhsuburkan adalah bahwa kesenian itu universal dan perupa dimanapun berada adalah sama!”

Memang produktivitas yang ada selama ini tidak diimbangi dengan kemampuan mengkurasi diri, kualitas dalam karya, keluasan wawasan berkesenian. Ditambah lagi dengan kurangnya upaya untuk mengapresiasi (bukan diapresiasi) budaya masyarakat awam seni, calon penikmat seni, calon kolektor yang sesungguhnya ada bertebaran di mana- mana.”

Persoalan Senirupa


Sementara itu bagi Herly Gaya, Perupa dan Pematung, persoalan kesenian dalam hal ini seni rupa pada dasarnya adalah persoalan universal. Artinya memiliki makna luas tak terbatas laksana garis horizon di kaki langit yang tidak ada putusnya.

”Tidak ada perbedaan signifikan atau menyudutkan atas karya seni di satu daerah dengan daerah lain. Persoalannya terletak pada sejauh mana seorang seniman atau perupa berkeinginan dan berkemampuan untuk menelaah dan menghakimi dirinya sendiri atau dengan istilah populer sekarang adalah mengkurasi dirinya sendiri,” jelasnya.

Menurutnya banyak hal yang akan dan sedang terjadi dalam lalu lintas pemikiran filosofis seorang seniman dan interaksi antar para perupa itu sendiri. Luas dan tak terbatas adalah sifat-sifat dasar dari ekspresi seniman dalam berkarya mulai sejak zaman purba hingga zaman ultra modern sekarang ini.

Bagi Herly, nilai-nilai inovasi tumbuh dan bermunculan setiap detik dalam dunia seni. Karena kesenian adalah sebuah instrument bagi kebebasan humanis yang tidak dapat digusur. Sebetulnya itu adalah harkat hidup lahiriah umat manusia.

”Seorang seniman dituntut untuk menyikapi dengan arif bijaksana dan berani berekspresi diikuti tanggung jawab penuh, sekuat tenga pikirannya mengeluarkan ide-ide yang brilliant dan cemerlan.”

Herly melanjutkan, ”Masa kini semua kesempatan terbuka lebar bagi ekspresi berkarya para perupa untuk berhubungan langsung dengan masyarakat luas. Dukungan-dukungan material yang bagus sudah tidak asing lagi, kecanggihan teknologi disertai kebebasan ide semakin dihargai.”

Hal ini tentu saja ditambah lagi dengan tidak terkotak- kotaknya klasifikasi karya seni, isme-isme sudah lama tidak berlaku lagi karena dianggap usang.

Seorang seniman tentu saja bebas untuk berkarya, dia boleh membuat lukisan, membuat karya patung, grafis, relief, ber-instalasi, membuat video-art, performance-art dan banyak sektor-sektor seni lain yang bebas untuk dieksploitasi.

”Semua boleh dan sah, begitulah konsep dasar seni rupa modern. Kolektor-kolektor, galeri-galeri, art dealer dan lain sebagainya sudah banyak bertaburan di mana-mana,” tambahnya.

Kemudian setelah seorang seniman atau perupa memasuki dunia profesionalisme, setiap karya yang dihasilkan olehnya adalah sumber penghasilan yang dapat menopang hidupnya, seperti profesi-profesi lainnya.

Herly melanjutkan, keprofesionalan seorang seniman dengan sendirinya akan diikuti oleh kepekaan strategi cerdas seniman itu masing-masing, yang terjadi setelah mengalami proses berkesenian, interaksi sesama perupa, suasana segmen pasar dan berbagai akses lain yang ada. ”Ini merupakan hal yang kompleks dan saling terkait.”

Setiap perupa memiliki ide kebijaksanaannya sendiri dalam berkarya, strategi berkarya adalah pedoman pribadi sang perupa. Saat memasuki segmen pasar si perupa akan bertemu dengan kolektor, galeri seni, dealer seni, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan dalam seni rupa, dan pengalaman baru akan di dapat si perupa, yaitu berstrategi memasuki pasar.

”Tetapi perlu diingat bukanlah berarti seniman harus total komersil, menjual habis karyanya tanpa pandang bulu. Antara transaksi penjualan sebuah karya dan nilai kualitas karya harus terjaga dan seimbang.”

Seorang perupa, seniman apapun bentuk karyanya, harus berkemampuan meningkatkan nilai karyanya. Karena sesungguhnya karya-karya itu adalah abadi sepanjang masa melebihi umur manusia. Berarti pula karya tersebut adalah sebuah asset yang bernilai yaitu bernilai nominal dan bernilai historis. Dan asset-asset itu akan dijaga karena nilai kualitasnya.

Ia menyadari bahwa kondisi di atas lebih banyak terjadi pada perupa-perupa di pulau Jawa. Mungkin ini karena infrastruktur atau instrument pendukung seni rupa lebih banyak terdapat di sana, terutama untuk segmen pasar.

Tapi setidaknya hal ini dapat memberikan suatu gambaran dari idealisasi kejadian dalam sektor seni rupa pada umumnya. Banyak peluang yang dapat dimanfaatkan oleh seorang seniman profesional. Herly mencontohkan, banyak perupa Indonesia yang malah sukses di Singapura dan banyak perupa-perupa dari Eropa, Amerika yang hidup dan sukses di Indonesia. Itu adalah bukti nyata bahwa seorang seniman dan karyanya adalah milik dunia.

”Mari kita berpikir dan berkarya sebagai seorang profesional demi sebuah cita-cita yang tidak pernah mengenal kata berhenti alias pensiun. Kebahagiaan yang tak terkira saat seorang perupa melihat karyanya terpajang pada sebuah pameran seni rupa. Rasanya sekarang bukanlah saatnya kita membeda-bedakan status perupa berdasarkan letak geografis, tetapi yang penting bagaimana kita berkarya dan berkompetisi secara profesional. Semua perupa mempunyai hak yang sama.”

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan