Gedung
itu tidak jauh berbeda dari gedung lainnya. Berjajar rapi bercat warna putih. Letaknya
di jalan Ahmad Yani tepat di depan kantor Polda Kalimantan Barat. Di samping
kirinya berdiri Sekolah Gembala Baik. Halamannya cukup luas, beberapa orang anak asyik
bermain di sana .
Sekilas tak ada yang menyangka di gedung itulah anak-anak yang memiliki keterbelakangan
mental belajar. Orang biasa menyebutnya Sekolah Luar Biasa (SLB).
Bel
istirahat berbunyi. Anak-anak keluar kelas dan segera berlari ke lapangan
menikmati permainan. Mereka terlihat riang gembira. Sekilas tingkah polah tidak
begitu berbeda dengan anak normal. Tetapi bila diperhatikan lebih seksama ada
beberapa tingkah mereka yang membedakan dari anak normal. Ada anak yang sangat
aktif namun ada pula yang cenderung pendiam.
Edo misalnya
lebih banyak diam. Ia mengalami kesulitan dalam mengingat sebuah kata sehingga
harus senantiasa diberitahu berulang-ulang agar gampang dalam mencerna kata-kata.
Gurunya harusnya mengajari Edo dengan telaten.
Berbeda dari
Edo, Yani siswi yang bisa dikatakan normal dalam berbicara, bergaul dengan
orang lain, dan tidak ada tanda-tanda bahwa ada kelainan di dalam dirinya. Satu
alasan yang menjadikan Yani terpaksa sekolah di tempat ini, karena bagian
syarafnya agak terganggu. Yani kurang dapat mencerna pelajaran dengan baik
tidak seperti anak normal lainnya.
Jangan salah
menyangka kalau anak-anak yang mengalami kelainan ini hanya menderita satu
cacat saja. Karena ada juga yang mengalami tuna ganda yaitu lebih dari satu
kelainan, berarti bisa mengalami tuna rungu bersamaan dengan tuna daksa atau
seorang anak menderita tuna netra dan tuna rungu.
Di
sekolah ini biasanya para Ibu setia menunggui anaknya hingga sekolah usai.
Salah seorang ibu yang setia menemani anaknya hingga sekolah bel pulang
berbunyi adalah Hamidah. Anaknya menderita tuna rungu wicara dan sudah berusia
12 tahun. Ia berharap dengan menyekolahkan anaknya di sini semoga dapat
memberikan perubahannya yang diharapkan. ”Anak–anak lebih baik disekolahkan
agar mereka lebih berkembang,” tutur sang ibu dengan nada yang lembut.
Menurut Uray
Ramayani Kepala SLB-C anak–anak yang disekolahkan di sana berbeda dengan
anak–anak normal biasanya. Hal itu disebabkan adanya kelemahan dalam berpikir dan
daya tangkap tidak seperti anak biasanya. Perbedaannya dilihat dari segi IQ,
watak, dan perilakunya. ”Ada yang lamban menangkap pelajaran sehingga sang guru
harus mengajar dengan penuh kesabaran dan perhatian,” ujarrnya.
”Siswa di sini
memang terbilang anak yang ber-IQ di bawah normal. IQ manusia yang normal
adalah 100, sedangkan anak-anak di sini memiliki IQ dengan tingkatan yang
bermacam-macam. Ada yang dinamakan slow
learning yang kisarannya sekitar 92-93, debil
90-an, border line kisarannya kurang
lebih 80, imbisil kira-kira 60, dan
paling rendah sekitar 50-an yang dinamakan idiot,”
jelas Uray Ramayani.
Menurut
Mursiawati, ahli psikologi, anak yang termasuk debil biasanya mampu menguasai bidang akademis. Kategori debil memiliki tingkatan ringan, sedang,
dan berat. ”Siswa yang mengalami tingkatan debil yang ringan dan sedang masih
dapat mengeja dan membaca serta mengenal huruf, namun siswa yang tingkatan
debilnya berat maka akan mengarah kepada imbisil yaitu siswa di bidang
kemampuan akademis kurang akan tetapi dari segi kreatifitas, keterampilan, dan
bakat dapat diasah dengan baik,” jelasnya.
Selama mengajar
banyak hal yang dapat dipelajari tentang perilaku anak di sekolah luar biasa.
Pengajar harus mengetahui ilmunya agar dapat menguasai cara-cara dalam
berinteraksi dengan siswa. Hal ini diakui Yanti Kepala SLB-B. Menurutnya pengajar
harus sabar dan memiliki pendekatan individu yang baik. Selain itu pengajar
juga harus merasakan kejiwaan mereka dan dapat memberikan kasih sayang kepada
siswa.
#####
Berdiri di
bawah Yayasan Dharma Asih Sekolah Luar
Biasa ini dibagi dua yaitu SLB–B dan SLB–C. Layaknya sekolah biasa, sekolah ini
juga terdiri dari beberapa jenjang. SLB–B memiliki taman Kanak-kanak dengan jumlah
siswa 22 orang, Sekolah Dasar dengan 54 siswa, Sekolah Menengah Pertama dengan
19 siswa dan Sekolah Menengah Atas yang hanya diisi 7 siswa.
Dengan
dilengkapi sebuah ruang
kepala sekolah (kepsek), sebuah ruang guru dan 14 ruang kelas yang dapat
menunjang kegiatan belajar-mengajar. SLB-B diperuntukkan bagi anak-anak
yang menderita tuna rungu wicara atau kurang pendengaran serta bisu. Seperti
yang kita ketahui bahwa penderita tuna rungu wicara adalah tidak dapat
berbicara dan pendengaran pun agak
terganggu. Jika menggunakan bahasa isyarat akan lebih enak menyapa mereka dan
mengobrol lebih lama.
Begitu pula dengan SLB–C,
terdapat pula jenjang Taman Kanak-kanak yang memiliki siswa sebanyak 23 orang,
Sekolah Dasar dengan 79 siswa, Sekolah Menengah Pertama dengan 18 siswa dan
Sekolah Menengah Atas yang hanya diisi oleh 9 siswa. Sama halnya dengan ruangan yang
dimiliki SLB-B hanya saja SLB-C ini hanya memiliki 13 ruang kelas.
Di sini
anak-anak yang menderita tuna grahita (keterbelakangan mental) diajar dan
dilatih keterampilannya. Mereka memiliki beragam latar belakang dan biasanya
anak ini lebih bandel dibandingkan kelas tuna rungu. Sedangkan di sekolah lain
biasanya dilengkapi kelas tuna netra yaitu bagi anak-anak yang mengalami
kebutaan pada matanya, biasanya disebut kelas A. Sayangnya SLB ini belum memiliki
kelas tersebut. Selain itu, di sini juga mengajar anak-anak autis yang
ditempatkan di kelas ujung SLB-C.
Di SLB–C
anak–anaknya tidak cocok diberikan teori secara penuh namun lebih tepat ditambah
keterampilan yang akan membantu bakat anak itu berkembang. Mereka juga tidak
cocok diajari hitung-menghitung yang dapat memberatkan siswa berpikir. Otak
kirinya tidak mampu dibebani begitu banyak dengan soal–soal hitungan akan
tetapi mereka sangat cocok diajari keterampilan seperti menggambar, memakai
ikat tali sepatu dengan cara yang benar, menjahit, memasak dan
aktivitas–aktivitas yang mereka senangi dan bakat siswa juga dapat tersalurkan.
Perkembangan
anak-anak itu cukup baik meskipun tidak sampai menjadi anak yang normal. Akan
tetapi anak akan memperoleh pengalaman luar biasa karena sering bersosialisasi
dengan temannya, berkomunikasi dengan guru, bermain bersama serta dapat membuat
anak ini terpuaskan sehingga menumbuhkan jati diri yang diharapkan orang tua.
Banyak Orangtua yang Malu
Mursiawati yang
juga mengajar di Sekolah Luar Biasa mengatakan bahwa orang tua biasanya tidak
menyekolahkan anaknya yang mengalami cacat mental karena didasari pengetahuan
yang kurang mengenai pentingnya anak untuk di sekolahkan dan juga dipicu oleh
rasa malu.
”Perlu sosialisasi
mengenai keberadaan sekolah luar biasa yang dapat dilakukan lewat media seperti
televisi agar orang tua dapat memahami peranan, fungsi dan manfaat sekolah untuk
pengembangan bakat anak,” ujarnya.
Ada anggapan
bahwa anak yang cacat tertutup peluangnya untuk bisa maju. Padahal anggapan ini
salah. Nuryanti seorang ahli psikologi mengatakan jika anak cacat itu disekolahkan
akan bermanfaat dalam pengembangan bakat dan minat mereka. Sang anak dapat
bersosialisasi dengan temannya, guru, kepala sekolah dan yang ada di lingkungan
sekolah. Kemandirian anak juga dapat berkembang dengan baik. ”Apabila anak yang
tidak disekolahkan dan hanya di dalam rumah saja dikhawatirkan tidak dapat
bersosialisasi dengan masyarakat dan akan kurang dalam pergaulan,” ungkapnya.
Untuk itu maka
perlunya diadakan seminar–seminar mengenai sekolah luar biasa agar orang tua
dapat mengikutinya serta memahami dengan dalam. Dan ini berguna memberikan
kesadaran orang tua untuk perkembangan anak. Solusi lainnya dengan pendekatan
kepada kedua orangtua agar dapat mengerti tentang pentingnya sekolah dan
terakhir perlunya kerjasama sekolah dengan orangtua agar dalam menyekolahkan
anaknya dapat bersabar karena semuanya berproses dan perubahan anak pasti
terjadi dengan perlahan dan memerlukan waktu yang tidak sedikit.
Untuk berharap
agar anak-anak di sekolah ini dapat kembali normal seperti anak lainnya yaitu
memiliki IQ yang normal kemungkinannya sangat kecil. Hal ini disebabkan sang
anak memiliki cacat sejak lahir atau sedari kecil sudah mengalami kelainan dari
perilakunya tapi tidak cepat ditangani oleh dokter. Namun jika disebabkan oleh
stress, kemungkinan untuk sembuh masih terbuka lebar.
Menurut Uray Ramayani
bahwa anak-anak yang cukup lama belajar sudah dapat berkomunikasi dengan baik
dan perilakunya semakin hari semakin baik. ”Mereka cukup ramah dan
mudah–mudahan saja dapat dijadikan tauladan bagi kita yang normal,” tambahnya.
Untuk anak-anak
yang memiliki keanehan pada tingkah lakunya, yaitu seperti sering memukul
temannya, senang bertinju atau berkelahi, dapat dikatakan anak ini mengalami
Tuna Laras. Biasanya pengajarnya dari kepolisian, yang khusus mengajar
anak-anak tuna laras agar lebih dapat menyalurkan bakat-bakatnya seperti
menjadi petinju.
Bila tidak
diberi pelatihan, pengajaran, dan penyaluran bakat anak Tuna Laras nantinya dapat
melakukan tindak kriminal yang berbahaya. Terjadinya pembunuhan sadis,
pemakaian dan pengedaran narkoba,
pemerkosaan dan masih banyak yang lainnya adalah buah dari ketidakpedulian
orang tua untuk mendidik anak yang mengalami kelainan pada fisik dan mentalnya
ini. Sehingga tidak ada pengontrolan dalam bertindak dan akibatnya terjadi
penyimpangan dan tindakan negatif yang merusak diri pribadi dan lingkungan
sekitar.
Walaupun
memiliki berbagai kekurangan fisik dan mental, ternyata ada diantara mereka
yang punya segudang prestasi terutama dicabang olah raga seperti lomba lari.
Salah satunya Yani yang pernah mengikuti lomba di salah satu Kabupaten di
Pontianak. Selain itu ada juga siswa yang pernah dikirim ke luar propinsi
seperti Jakarta dan kota lainnya.
Rizki salah
satu siswa yang pernah mengikuti kejuaraan tenis meja, walau tidak membawa
piala kemenangan, yang terpenting adalah kemauan dan pengalaman yang berharga
bagi siswa tersebut. Atlet-atlet Indonesia ada juga kemungkinan yang berasal
memiliki kelainan mental pada dirinya, biasanya ber IQ di bawah rata-rata akan
tetapi mereka mempunyai kelebihan fisik yang kuat khususnya di cabang olahraga
seperti atletik.
0 komentar:
Posting Komentar