Thank's For

BERNOSTALGIA DENGAN SUNGAI

“Hey... sampan laju, sampan laju dari hilir sampai ke hulu. Sungai kapuas sungguh panjang dari dulu membelah kote”.

Lirik ini kerap terngiang di telinga kita, saat menginjakkan kaki di Bumi Khatulistiwa ini. Lagu ini pula yang menggambarkan kondisi kota Pontianak yang dilalui ratusan sungai.
Kondisi inilah yang telah mengilhami pemerintah Belanda menata Pontianak mirip pola pemukiman di Negeri Kincir Angin itu. Dahulu sungai pun menjadi jalur transportasi utama penduduk. Akan tetapi, seiring pembangunan yang semakin pesat, jalan menjadi rival yang tangguh bagi eksisnya fungsi sungai. Mampukah sungai bertahan?

Sedikit melirik di suatu pagi, di ruas jalan yang menghubungkan sebuah desa dengan pasar rakyat. Segala aktivitas pun berlangsung. Mereka sibuk mengangkut hasil perkebunannya menuju pasar. Jalan seolah menjadi raja hari itu. Walau sempat mengantri dan berlomba dengan kendaraan lainnya. Saling menyalip, dan tak jarang pula turut menolong kendaraan lain yang terjebak di sebuah lubang.

Jalan memang prasarana untuk mempermudah mobilitas penduduk dari satu tempat ke tempat lain. Jalan juga salah satu tolak ukur kemajuan ekonomi suatu daerah. Contohnya saja Umar yang tiap hari mengangkut hasil pertaniannya dengan melewati jalan. Kalau dulu ia harus berjuang mengangkut hasil pertanian dengan sampan tua warisan ayahnya. Kini dengan sepeda motor hasil kreditan ia sudah bisa membawa hasil kebun ke pasar. Bahkan hanya memakan waktu yang lebih singkat.

”Fungsi jalan sudah jelas untuk memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain, jumlah jalan juga semakin bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat,” ungkap Sabarudin, Dekan Fakultas Teknik Untan.

Jalan juga menjadi pilihan utama bagi mereka yang mencari nafkah di jalur ini. Sebut saja sopir bis, sopir truk, tukang ojek sampai tukang becak sekalipun hidupnya tergantung dari keberadaan jalan. ”Jalan mempunyai peran penting dalam menunjang kelancaran kegiatan ekonomi dan kegiatan lain secara umum,” ujar Djawani Machbar, Subdin Bina Marga Dinas PU Kalbar.

Keberadaan jalan memang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dalam segala bidang. Jalan juga merupakan akses yang penting bagi masyarakat. Terlebih bagi mereka yang bermukim di daerah pelosok. Namun, kondisi beberapa jalan di timur Kalbar sangat memprihatinkan. Contohnya saja di daerah Kapuas Hulu. Kerusakan jalan menghambat distribusi pertanian. Salah satu solusi yang diambil warga yaitu dengan kembali mengayuh sampan, mengarungi sungai untuk sampai ke pasar dan menjual hasil kebunnya. Walau memakan waktu yang cukup lama, namun hanya cara ini yang dapat ditempuh agar hasil kebun yang akan dijual tidak layu dan busuk. Kalau tidak mereka mesti berjuang mengarungi jalan bak kubangan lumpur itu.

NOSTALGIA BERSAMA SUNGAI

Menilik sedikit ke belakang, ini bukanlah cara baru yang digunakan masyarakat. Bukan juga solusi yang baru saja ditemukan. Transportasi lewat sungai sebenarnya sudah lama mendarah daging di tubuh penduduk Kalimantan khususnya Kalbar. Hanya saja sekarang sudah mulai terlupakan lantaran ada alternatif baru yang lebih efektif yaitu dengan dibangunnya infrastruktur jalan.
Provinsi seribu sungai sudah menjadi predikat Kalbar sejak dulu. Tak jarang pula orang menyebutnya sebagai Kota Air. Julukan ini selaras dengan kondisi geografis Kalbar yang dialiri ratusan sungai besar dan kecil yang sering dilayari. Sungai-sungai tersebut merupakan urat nadi dan jalur utama untuk angkutan daerah pedalaman beberapa tahun silam. Jalur perairan sempat menjadi primadona Kalbar saat itu. “Sungai Kapuas dulunya merupakan jalur sutra karena dulu telah terjadi hubungan perdagangan dengan luar negeri,” ungkap Dra. Lisyawati Nurcahyani, M.Si, Kepala Balai Kajian Sejarah Kalbar. Tak ayal pula banyak daerah di bumi khatulistiwa ini yang namanya identik dengan nama sungai.
Sungai besar utama yang tak henti-hentinya mengalir hingga saat ini adalah Sungai Kapuas yang merupakan sungai terpanjang di Indonesia dengan panjang 1.086 km, yang mana sepanjang 942 km dapat dilayari. Sungai-sungai besar lainnya adalah Sungai Melawi sepanjang 471 km dapat dilayari, Sungai Pawan (197 km), Sungai Kendawangan (128 km), Sungai Jelai (135 km), Sungai Sekadau (117 km), Sungai Sambas (233 km), Sungai Landak (178 km) dan beberapa sungai lainnya.
Kondisi ini sedikit banyak telah menginspirasi pemerintah Kolonial Belanda untuk menata kota Pontianak seperti di negeri asalnya. Yaitu setelah disepakatinya perjanjian pada 5 Juli 1779 antara Sultan Syarif Abdurrahman dengan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Sejak itu penataan kota Pontianak diatur bersama. Sultan memberikan VOC wilayah sebelah selatan keraton yang dibatasi Sungai Kapuas, untuk dijadikan tempat kegiatan Belanda. Tempat ini dikenal dengan daerah Vierkante paal. 

Belanda menata daerah ini hampir sama dengan tata kota di Belanda. Salah satunya dikarenakan daerah ini memiliki kondisi geografis yang hampir sama dengan di negerinya. Pemandangan ribuan sungai yang membelah kota. Sekitar 33 parit atau sungai kecil yang melingkari tiap kota memperkuat kesan kota Pontianak sebagai kota air. Pembangunan parit oleh Belanda ini selain sebagai strategi menghindari musuh juga berfungsi untuk menampung air hujan dikarenakan kondisi kota yang memiliki tinggi permukaan tanah dengan laut antara 0,8-1,5 m sehingga rawan banjir.

Parit sebagai sarana penghubung dalam kota baik antar kampung maupun antar pasar dengan menggunakan sampan dan motor air. Penduduk bermukim di sepanjang parit seperti Sungai Jawi, Parit Besar, Parit Bansir, Parit Pekong, Parit H. Husin dan Parit Tokaya. ”Tata kota yang dibuat Belanda dulu memang bagus, karena sesuai dengan kondisi masyarakat, misalnya membuat parit-parit untuk menampung air hujan agar tidak banjir,” ungkap Pembayun Sulistyorini, Peneliti Sejarah.

Di pusat kota juga dibangun benteng Fort Mariannnen sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan yang terletak di kawasan pertokoan Nusa Indah sekarang. Benteng ini berfungsi untuk menghindari jika adanya serangan musuh dari daratan, juga memutuskan hubungan penduduk dengan daerah luar. Pola seperti ini merupakan stereotip dari benteng-benteng yang ada di Hindia Belanda.

Perhatian pemerintah Belanda merupakan elemen yang turut menunjang struktur dan tata ruang pemukiman kota Pontianak. Pembangunan jalan sudah mulai dilakukan pada masa ini. Pengembangan sistem transportasi kota berupa jaringan jalan setapak yang kerap disebut jalan tikus. Sepanjang jalan ini dihiasi penerangan jalan berupa lampu minyak pada setiap pinggir jalan dan persimpangan jalan.
Begitu juga dengan wilayah di sekitar keraton yang ditata oleh Sultan. Para pedagang melayu, bugis dan lainnya ditempatkan di tepian Sungai Kapuas yang paralel sebelah timur pusat kerajaan. 
Kota Pontianak pada abad ke-19 tidak hanya meru pakan pusat perdagangan tetapi juga menjadi pusat pemerintahan serta kemudahan niaga dan pelayaran. Kondisi ini merupakan faktor potensial munculnya perluasan kota. Ditunjang pula fungsi Sungai Kapuas dan Landak sebagai jalur transportasi termudah yang menghubungkan daerah-daerah pedalaman, sehingga muncul pemukiman yang letaknya di tepi sungai tersebut. Perkembangan Pontianak dengan sendiri berjalan sejajar dengan kemajuan perdagangan, birokrasi, transportasi dan berbagai fasilitas pelayanan lainnya.
Di awal rezim orde lama (1950-1966) perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota diselenggarakan oleh Dinas PU. Pada tahun 1964 dirintis perluasan jalan A. Yani dan Kota Baru II sebagai kawasan perkantoran. Pemeliharaan jalan dengan jumlah keseluruhan 61.125 km, diaspal 28.318 m dan belum diaspal 20.656 m. Begitu pula perbaikan jalan kampung bagi penduduk dalam mempermudah aktvitasnya. Dalam pengerjaannya sering mengalami hambatan karena aspal harus didatangkan dari luar daerah.

ALTERNATIF YANG TERLUPAKAN
Pembangunan terus digalakkan seiring dengan tuntutan di segala bidang baik ekonomi, sosial dan politik. Seringkali pembangunan sebagian besar kota mengacu pada konsep ekonomi pasar (Laissez Faire). Dimana prinsip pembangunan bebas menggunakan alam untuk keuntungan yang sebesar-besarnya. Misalnya saja pembangunan pusat perbelanjaan dan perluasan jalan yang semakin mempersempit lebar sungai dan parit. Sungai Jawi contohnya jauh dari kata bersih. Airnya yang hitam pekat, bau yang menyengat bahkan telah beralih fungsi sebagai tempat pembuangan sampah. ”Semakin meningkatnya pembangunan ternyata juga memberikan efek negatif, sungai dan parit menjadi kecil, kalau hujan pastilah banjir”, ujar lulusan jurusan sejarah Indonesia UNS ini. 


”Kalau dulu parit yang ada di sepanjang Jalan Gajahmada dapat selebar parit di daerah Sungai Jawi, tapi sekarang dengan adanya pelebaran Jalan Gajahmada dengan menggunakan beton menjadikan parit semakin sempit,” tambahnya lagi. Pembangunan kota hanya dijadikan komoditas untuk mencari keuntungan. Sehingga keseimbangan lingkungan akan hancur seiring dengan tidak adanya kompromi antara pembangunan dengan alam
Aktivitas manusia telah memberikan residu yang cukup besar khususnya bagi sungai. Pengeringan dan pendangkalan Sungai Kapuas memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Pada bagian tepi kanan dan kiri sungai tampak kering. Sebagian disulap menjadi lapangan sepak bola dan arena permainan layang-layang. Pendangkalan terparah terjadi dari hulu Sungai Kapuas hingga Sintang. Segala aktivitas transportasi penumpang dan barang pada alur sungai sepanjang kurang lebih 600 km nyaris lumpuh total. 
Beberapa jenis alat transportasi air terkenal di Kalbar seperti sampan, perahu, bandung dan tongkang jarang terlihat. Apalagi saat kemarau tiba, perahu motor yang setia melayani pengangkutan penumpang maupun barang dari dan ke kawasan pedalaman atau hulu sungai terpaksa menghentikan operasinya.
Begitu pula dengan semakin meningkatnya pembangunan jalan hingga ke pelosok daerah. Jalur darat ini menjadi pilihan utama masyarakat. Selain waktu perjalanan yang lebih efektif juga daya angkut yang lebih banyak. Dampak dibukanya jalan-jalan darat menuju ke pelosok-pelosok Kalbar, sehingga yang tadinya hanya bisa ditempuh melalui sungai sekarang dapat ditempuh melalui jalur darat. Pada tahun 1999 jumlah kapal motor tercatat sebanyak 9.850 buah, sedangkan pada tahun 2003 hanya tinggal 3.425 buah, berarti telah terjadi penurunan sekitar 50 persen.
Dengan adanya jalan raya beraspal, truk pengangkut barang hanya mampu mengangkut empat ton sekali jalan. Padahal dengan menggunakan perahu motor dapat mengangkut hampir 20 ton, namun memakan waktu lima hari.
Untuk kembali lagi mencintai angkutan sungai bukanlah hal yang mudah. Perlu dilakukan pengerukan untuk mengatasi pendangkalan sungai. Namun pengerukan ini membutuhkan biaya yang cukup besar. Pengerukan pernah dilakukan kantor wilayah Departemen Perhubungan Kalbar sejak tahun 1981. Hingga kini dana yang telah dikeluarkan untuk pengerukan lumpur kurang lebih Rp. 95 milyar.[Aini Sulastri]

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Penulis/pemilik artikel ini siapa ya? sy ingin meminta izin penggunaan artikel diatas untuk keperluan karya tulis yang sedang sy kerjakan. trims

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan