Thank's For

TRANSPORTASI SUNGAI YANG TERLUPAKAN


Hilir mudik sampan bertenaga mesin mewarnai aktivitas di lintasan Kapuas siang itu. Sampan berukuran 5 meter yang biasa disebut spit ini mampu mengangkut sepuluh orang penumpang ditambah seorang pengemudi yang duduk paling depan. Sebelum berlayar, terlebih dahulu mesin dihidupkan dengan menarik tali di bagian atasnya. Setelah mesin berbunyi barulah perjalanan dapat dimulai.

Kabut menyelimuti kota. Sampan kecil yang terbuat dari kayu bertenaga manusia bahkan jarang terlihat. Hanya gulungan ombak kecil yang terpaksa lenyap dihantam spit dari arah berlawanan. Lima hingga sepuluh menit, penumpang sudah bisa tiba didaerah yang biasa disebut Pelabuhan Nusa Indah ini. Tiap orang hanya dikenakan tarif sebesar Rp. 1000 dan jika ingin menikmati perjalanan secara pribadi penumpang harus merogoh koceknya dengan uang dua puluh ribuan.


Tiap harinya 30 sampai 40 spit yang mangkal dikawasan ini. Jika dulunya dapat mencapai 60-70 buah. Madari (57) sudah 32 tahun berkerja sebagai pengemudi spit. Lelaki paruh baya ini duduk terpekur sambil menunggu gilirannya berlayar. Cuaca hari itu seolah tak bersahabat. Kabut yang menyelimuti kota ditambah terik matahari yang cukup menyengat membuat tubuhnya bermandikan keringat. Topi yang dikenakan tak lagi menutupi kepala, tapi lebih memilih dijadikan kipas untuk mendinginkan tubuhnya. Sambil menarik napas terengar-engah, pria ini tampak kelelahan.

“Satu hari cuma bisa 6-7 kali pulang balik, soalnya lama nunggu penumpang penuh, kalau udah penuh baru bisa jalan,” ungkap Madari. Angkutan spit ini kian hari kian berkurang peminatnya. “Sekarang penumpang spit makin sepi, soalnya udah banyak dibangun jalan jadi orang lebih memilih pake oplet atau motor”, ujarnya lgi. Sedikit bernostalgia, ia pernah merindukan kejayaan spit beberapa tahun silam. Sebelum dibangunnya jembatan tol tahun 1983, sampan dan spit adalah transportasi utama penduduk.











Dulu, transportasi sungai sempat menjadi primadona Kalbar. “Sungai Kapuas letaknya strategis dan merupakan daerah transito perdagangan dari timur maupun barat nusantara terutama Singapura”, ujar Lisyawati Kepala Balai Kajian Sejarah Kalbar. Tak ayal pula jika banyak kota di bumi khatulistiwa ini namanya identik dengan nama sungai.

Provinsi seribu sungai sudah menjadi predikat Kalbar sejak dulu dan tak jarang orang menyebutnya kota air. Julukan ini selaras dengan kondisi geografis Kalbar yang dialiri ratusan sungai. Sungai tersebut merupakan urat nadi dan jalur utama untuk angkutan daerah pedalaman beberapa tahun silam.

Bahkan pada tahun 1894 pernah dilakukan ekspedisi ilmiah oleh Newinhis seorang ilmuwan Belanda dengan menyusuri sungai di Kalimantan. Ekspedisi ini berhasil membawa pulang koleksi yang bermanfaat dalam bidang tumbuh-tumbuhan, ilmu hewan (zoology), geologi, dan etnologi. Kala itu sungai masih terlihat lebar dan tenang. Tepi-tepi sungai terlalu jauh untuk dapat diamati dengan baik. Perjalanan ke Sintang hanya memakan waktu 2 x 24 jam. Ini menyebabkan letak Sintang sangat strategis sehingga seluruh perdagangan dapat dikuasainya.

Sungai Kapuas merupakan sungai terpanjang di Indonesia, dengan panjang 1.143 km hampir sama dengan Sungai Rhine di Eropa. Kapuas ditaksir mengaliri dua pertiga luas Provinsi Kalbar dan mencakup daerah aliran sungai seluas 100.000 km2 (Giesen, 1987).








Kondisi ini sedikit banyak telah mengilhami pemerintah Kolonial Belanda untuk menata Kota Pontianak seperti di negeri kincir angin itu. Setelah disepakatinya perjanjian antara Sultan Syarif Abdurrahman dengan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada 5 Juli 1779. Sejak saat itu sultan memberikan VOC wilayah sebelah selatan keraton yang dibatasi Sungai Kapuas, untuk dijadikan tempat kegiatan Belanda.

***

Dengan dibangunnya jalan darat telah menggeser keberadaan transportasi sungai. Kapal bandung yang pernah jadi kebanggaan Kalbar makin tak terdengar lagi gaungnya. Kapal menyerupai rumah terapung ini tak lagi mengangkut penumpang, Karena dirasa tidak efektif. Acung (56) pemilik kapal sepanjang 24 meter ini lebih memilih untuk mengangkut bahan mentah dan sembako yang akan dibawa ke Putussibau. “Soalnya kapal ini seminggu baru bisa sampai ke tujuan, apalagi kalau air surut perjalanan akan lebih lama”, ungkapnya.

Tak hanya kapal milik Acung, lima hingga enam kapal bandung yang mangkal di terminal induk UPPD Sungai Raya ini terpaksa menghentikan operasinya untuk beberapa waktu. “Kabut asap yang menyelimuti kota dan terjadinya pendangkalan sungai menjadi pemicu yang menyebabkan distribusi barang terhambat”, ungkap Firmansyah Kepala UPPD Sungai Raya. Hal senada juga diungkapkan Haris kepala pos Terminal Induk, ia menyayangkan penurunan jumlah kapal bandung yang berlayar. “Kalau dulu hampir sepuluh kapal yang berangkat tiap harinya, sekarang tidak lebih dari lima kapal, bahkan kalau kabut kayak gini seharian bisa tidak ada yang berangkat”, keluhnya.

Kasus pendangkalan dan pengeringan Sungai Kapuas bersama anak-anak sungainya merupakan akibat dari pembabatan hutan secara besar-besaran tanpa kendali baik secara legal maupun illegal selama kurang lebih 30 tahun terakhir. Tiap kali musim kemarau semenjak awal tahun 1990 sungai di Kalbar mengalami pendangkalan dan pengeringan. Lebar badan sungai yang dulunya 250 meter kini hanya menyisakan kurang lebih 25 meter. Kedalaman sungai yang seharusnya 20 meter telah menyusut tajam sekitar 30-100 sentimeter. Di sisi lain perlu dilakukan pengerukan untuk mengatasi pendangkalan sungai. “Tapi pengerukan itu membutuhkan biaya yang sangat besar,” ungkap Firmansyah lagi. Pengerukan pernah dilakukan kantor wilayah departemen perhubungan Kalbar tahun 1981.

Seiring dengan meningkatnya pembangunan jalan hingga ke pelosok daerah. Jalur darat kini menjadi pilihan utama masyarakat. Selain waktu perjalanan yang singkat dan juga dapat menghemat biaya. Tadinya hanya bisa ditempuh melalui sungai sekarang dapat ditempuh melalui jalur darat.

Dengan adanya jalan raya beraspal, truk-truk besar kerap kali menjadi pemicu kerusakan jalan. Truk pengangkut barang ini hanya mampu mengangkut empat ton sekali jalan. Padahal dengan menggunakan perahu motor dapat mengangkut hampir 20 ton, sayangnya memakan waktu cukup lama. Jumlah kapal motor terus mengalami penyusutan. Pada tahun 1999 jumlah kapal motor tercatat sebanyak 9.850 buah, sedangkan pada tahun 2003 hanya tinggal 3.425 berarti telah terjadi penurunan sekitar 50 persen.

“Dengan jalur sungai kita bisa mengangkut barang dalam skala besar,” ungkapnya. Ia juga menambahkan perlu adanya pengefektifan kedua jalur tersebut yaitu dengan pembenahan sarana dan prasarana baik jalur sungai maupun jalur darat. (OLEH : AINI SULASTRI)

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Lady Gaga, Salman Khan